Di balik unggahan prestasi, senyum saat rapat organisasi, dan obrolan santai di kantin, bisa jadi ada seseorang yang sangat lelah menjalani hidupnya. Bukan lelah fisik semata, tapi lelah karena terus merasa harus terlihat baik-baik saja. Kita, sebagai mahasiswa, seringkali terbiasa menyembunyikan tekanan dalam diam, tetap tampil tenang di permukaan, meski sebenarnya sedang kewalahan. Fenomena inilah yang dikenal sebagai Duck Syndrome.
Ibarat seekor bebek yang tampak mengapung anggun di permukaan air, padahal di bawahnya kakinya sedang mendayung panik, begitulah banyak dari kita menjalani kehidupan perkuliahan. Terlihat santai dan terkontrol, padahal sedang berusaha keras agar tidak “tenggelam” dalam tuntutan hidup akademik dan sosial. Duck syndrome atau floating duck syndrome adalah kondisi ketika seseorang tampak tenang dan baik-baik saja dari luar, padahal sebenarnya sedang berjuang keras secara mental dan emosional di balik layar (Travers, 2024). Istilah ini diibaratkan seperti bebek yang terlihat tenang di permukaan air, tapi kakinya mengayuh cepat di bawahnya. Awalnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan fenomena di kalangan mahasiswa Stanford University. Namun, pada kenyataannya, kondisi serupa banyak dialami oleh mahasiswa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, sebagai respons atas tekanan dalam menyeimbangkan tuntutan akademik, aktivitas nonakademik, dan kehidupan sosial (Riley, 2023).