Lebaran merupakan momen yang dinanti-nanti oleh banyak orang, karena menjadi waktu berkumpul bersama keluarga besar, berbagi kebahagiaan, dan mempererat tali silaturahmi. Namun, bagi kita, terutama yang masih dalam perjuangan menyelesaikan studinya, momen ini sering kali menjadi ajang pertanyaan basa-basi yang terkadang justru menimbulkan ketidaknyamanan. Pertanyaan seperti “Kapan lulus?”, “Kok belum kerja?”, atau “Kapan nikah?” sering kali terdengar sepele, tetapi bagi sebagian orang, terutama kita yang sedang menghadapi tekanan akademik atau persoalan pribadi, pertanyaan-pertanyaan ini bisa terasa seperti tekanan sosial. Bahkan, pertanyaan mengenai perubahan fisik, seperti “Kok gendutan?” atau “Sekarang kurusan ya?”, juga bisa membuat kita merasa tidak nyaman.
Dalam budaya Indonesia, basa-basi sering kali dianggap sebagai bentuk kepedulian dan keakraban. Namun, hal ini tidak jarang justru menjadi pemicu kecemasan dan tekanan mental, terutama jika kita merasa belum mencapai ekspektasi sosial tertentu. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami cara menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini agar tetap merasa nyaman dan dapat menikmati momen lebaran dengan tenang.
Mental Health
Journaling atau menulis jurnal sering disebut sebagai salah satu cara efektif untuk menjaga kesehatan mental. Meski banyak yang tertarik untuk mencoba, tidak sedikit yang merasa kesulitan untuk memulai. Menulis bisa menjadi hal yang sulit, apalagi kalau kita belum terbiasa melakukannya. Ada juga yang masih ragu apakah menulis jurnal benar-benar memberikan manfaat. Padahal, ada banyak bukti bahwa journaling dapat membawa dampak positif.
Mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui tulisan dapat membantu meningkatkan kesehatan emosional dan fisik seseorang (Baikie & Wilhem dalam Scott, 2023). Journaling dapat menjadi salah satu cara efektif untuk mengelola emosi dengan sehat. Aktivitas ini dapat membantu memperjelas berbagai pikiran dan perasaan yang kita alami, sehingga kita dapat memahami diri sendiri, mengidentifikasi masalah yang dihadapi, serta menemukan alternatif solusi. Selain itu, journaling memberikan waktu jeda yang membuat tubuh menjadi lebih rileks.
Coba refleksikan kepada dirimu: Pernahkah kamu benar-benar merasakan rasa dari setiap makanan yang kamu makan? Atau, apakah selama ini kamu makan sambil melakukan aktivitas lain, seperti nugas atau menonton? Jika kamu masih sering makan dengan terburu-buru, mungkin ini saat yang tepat untuk mulai mengenal mindful eating, sebuah pendekatan makan yang semakin populer di kalangan individu yang peduli pada kesehatan fisik dan mental.
Mindful eating, atau makan dengan penuh kesadaran, adalah pendekatan terhadap makanan yang menekankan kesadaran indrawi, seperti rasa, tekstur, dan aroma makanan, serta pengalaman saat mengonsumsinya (Nelson, 2017). Konsep ini berakar dari mindfulness, yaitu kesadaran terhadap momen ke momen dengan memberikan perhatian penuh, secara sengaja, pada saat ini, tanpa penilaian (Kabat-Zinn, 2015). Tujuan utama mindful eating adalah membantu
individu menikmati makanan dan momen dengan kehadiran penuh, sehingga mendorong hubungan yang lebih sehat dengan makanan (Nelson, 2017).
Di era digital ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupa sehari-hari, terutama bagi generasi muda yang mengandalkan perangkat digital untuk belajar, bersosialisasi, dan menghibur diri. Namun, penggunaan teknologi yang berlebihan juga dapat memberikan dampak yang negatif bagi penggunanya. Inilah yang mendorong semakin banyak orang untuk melakukan digital detox, yaitu upaya sadar untuk mengurangi penggunaan teknologi guna meningkatkan kesejahteraan mental.
Dalam era yang semakin maju, kehadiran teknologi dan media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi dan menjalani kehidupan sehari-hari. Standar dan gaya hidup seseorang seakan-akan bisa didefinisikan melalui cara mereka berinteraksi di dunia maya. Banyak orang
merasa terdorong untuk memenuhi ekspektasi yang diciptakan di media sosial, seperti menunjukkan pencapaian atau penampilan tertentu untuk mendapatkan pengakuan sosial. Akibatnya, tanpa disadari, tekanan sosial ini sering kali menimbulkan stres karena seseorang merasa harus mengikuti standar yang tidak realistis.
Self-love atau mencintai diri sendiri adalah konsep yang sering dipromosikan dalam budaya modern sebagai kunci kesejahteraan dan kebahagiaan pribadi. Konsep self-love mengacu pada penerimaan diri yang mendalam dan tanpa syarat. Ini melibatkan pengakuan atas nilai diri, memperlakukan diri sendiri dengan baik, dan memprioritaskan kesejahteraan pribadi di atas kesejahteraan pihak lain. Berlawanan dengan kesalahpahaman umum, self-love bukanlah bentuk egoisme atau narsisme, melainkan bentuk penghargaan diri yang sehat yang mendukung stabilitas mental dan emosional.
Arti sehat bukan hanya sekedar diartikan saat tubuh kita tidak sakit lho. Seseorang bisa dikatakan sehat apabila dia sehat secara fisik, mental dan sosialnya. Dan yang sering diabaikan adalah sesuatu yang tidak terlihat seperti kesehatan mental. Ada 5 ciri-ciri yang bisa dijadikan acuan untuk mengidentifikasi bahwa orang tersebut sehat secara mental, yakni mulai dari bagaimana dia mengelola stress hingga caranya melakukan aktivitas sehari-hari.
Penyebab tidak sehatnya mental seseorang bisa terjadi karena stress yang tidak teratasi dengan baik, padahal stress merupakan perasaan normal yang pasti dialami oleh semua orang karena hal tersebut merupakan bentuk emosi saat tubuh merespon keadaan kurang menyenangkan. Stress dapat berdampak negatif namun juga dapat menjadi motivasi positif apabila dikelola dengan baik. Temukan cara terbaik sesuai dengan apa yang kamu suka untuk mengelola stress dengan benar. Berikan afirmasi yang positif dan kendalikan diri untuk berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, bukan sebaliknya.
Apabila kamu merasakan gejala stress berlebih yang sampai mengganggu fisik dan aktivitas sehari-harimu, jangan ragu untuk meminta bantuan kepada para ahli seperti psikolog dan psikiater.