
Di kehidupan yang penuh tuntutan dan ekspektasi, kita sering kali merasa harus selalu tampil kuat, ceria, dan penuh semangat. Terkadang, saat kita merasa lelah atau kecewa, kita justru menghibur diri dengan kalimat seperti, “Nggak apa-apa, yang penting tetap positif!” atau “Aku harus tetap bahagia!” Namun, tanpa kita sadari, kebiasaan seperti ini bisa berbahaya, terutama bagi kesehatan mental kita. Hal demikian dikenal dengan istilah toxic positivity yaitu sebuah sikap yang menuntut kita untuk selalu berpikir positif, bahkan ketika kita merasa tidak baik-baik saja.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity merujuk pada sikap atau pandangan yang memaksakan kebahagiaan atau optimisme secara berlebihan dan tidak realistis, sekaligus menolak atau mengabaikan perasaan negatif (Cherry, 2024). Hal ini bisa muncul dalam bentuk menyangkal emosi diri sendiri atau orang lain. Mungkin kita pernah mendengar kalimat seperti, “Hidup harus selalu positif, jangan terlalu memikirkan hal buruk,” atau “Semua orang pasti punya masalah, jadi jangan terlalu merasa sedih dan merasa paling tersakiti.”
Padahal, menurut Emotional Regulation Theory (McGarvie, 2025), memaksakan diri untuk selalu positif justru membuat kita menekan emosi yang sebenarnya perlu diproses. Dan ini malah bisa memperburuk kondisi kesehatan mental kita. Penting untuk diingat bahwa perasaan negatif seperti rasa cemas, kecewa, atau lelah adalah bagian alami dari hidup kita (Cherry, 2024). Dalam pendekatan Acceptance and Commitment Therapy (ACT), diterangkan bahwa menerima perasaan negatif ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan dan kesejahteraan mental (Glasofer, 2024).
Toxic Positivity vs. Optimisme
Tentunya, ada manfaat dari berpikir positif dan bersikap optimis. Memiliki pandangan positif terhadap kehidupan bisa berdampak baik untuk kesejahteraan mental seseorang (Passmore dkk., 2018). Masalahnya, hidup tidak selalu positif. Kita semua mengalami emosi dan pengalaman yang menyakitkan. Toxic positivity memiliki pendekatan “good vibes only” dan mengabaikan emosi-emosi yang tampak negatif (Cherry, 2024). Sehingga, yang membedakan toxic positivity dengan optimisme adalah: penerimaan atau validasi terhadap emosi yang dirasakan.
Kita sering merasa bahwa mengakui perasaan negatif adalah bentuk kelemahan. Kalimat seperti “Jangan terlalu galau, pikirin hal positif aja” atau “Kamu harus tetap semangat, jangan baper!” sering kali terdengar. Meski kalimat-kalimat positif dimaksudkan untuk memberikan dukungan dan motivasi, respon tersebut bisa kurang tepat jika disampaikan pada waktu yang salah tanpa memperhatikan perasaan dan permasalahan yang dialami lawan bicara. Walaupun berawal dari niat yang baik, toxic positivity dapat menyebabkan dampak psikologis yang signifikan ketika mengabaikan atau meniadakan pengalaman emosional yang sebenarnya (Wyatt, 2024).
Mengabaikan perasaan yang sulit bisa berbahaya. Menurut Cognitive Behavioral Therapy (CBT), menekan atau mengabaikan perasaan negatif hanya memperkuat pola pikir yang tidak sehat (National Library of Medicine, 2022). Dengan tidak memberi ruang untuk merasakan emosi yang buruk, kita malah memperburuk perasaan tersebut dan memperlambat proses pemulihan (National Library of Medicine, 2022). Meskipun menunda emosi yang sulit terkadang diperlukan untuk sementara waktu, menyangkal perasaan negatif dalam jangka panjang dapat berdampak buruk karena dapat menghambat seseorang dalam memproses emosinya dan mengatasi kesulitannya.
Apa Dampak dari Toxic Positivity?
Saat kita terus menerus menekan perasaan dan memaksakan diri atau orang lain untuk selalu positif, kita justru berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan mental. Berikut adalah beberapa dampaknya:
1. Kecemasan dan Stres
Putra dkk. (2023) menemukan bahwa toxic positivity dapat menyebabkan tekanan emosional yang signifikan. Menekan emosi negatif dapat menambah beban stres yang sudah kita rasakan. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan kecemasan yang berlebihan. Kita mungkin merasa takut untuk gagal atau takut dianggap lemah, dan ini justru memperburuk kondisi mental kita (Hendrawan, 2023).
2. Meningkatkan Risiko Gangguan Mental
Mengabaikan perasaan negatif yang terus menumpuk tanpa diberi kesempatan untuk diproses bisa berujung pada depresi. Perasaan tidak dianggap atau terabaikan bisa memperburuk perasaan kesepian dan tidak berdaya (Hendrawan, 2023).
3. Burnout
Ketika kita memaksakan diri untuk selalu tampil kuat tanpa memberi ruang untuk beristirahat atau mereset emosi, kita berisiko mengalami burnout. Kita bisa merasa kelelahan fisik dan mental yang parah, yang mengganggu produktivitas dan kesehatan kita secara keseluruhan (Hendrawan, 2023).
Bagaimana Menghadapi Toxic Positivity?
Jika kita ingin menjaga keseimbangan antara emosi positif dan negatif, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan:
1. Terima Semua Perasaan yang Ada
Langkah pertama adalah menerima bahwa kita tidak selalu harus merasa baik-baik saja. Terkadang, merasa cemas atau sedih itu normal, dan itu bukan berarti kita lemah. Menurut Acceptance and Commitment Therapy (ACT), menerima semua perasaan kita baik positif maupun negatif adalah bagian dari proses penyembuhan dan kesejahteraan (Glasofer, 2024). Untuk menghadapi toxic positivity, kita perlu melatih pandangan yang lebih realistis, bahwa emosi negatif adalah bagian yang alami dan diperlukan dalam kehidupan (Wyatt, 2024).
2. Kelola Stres dengan Mindfulness
Teknik mindfulness seperti meditasi, pernapasan sadar, dan journaling bisa menjadi cara efektif untuk meredakan stres tanpa mengabaikan perasaan yang muncul. Menurut Ackerman (2017), mindfulness membantu kita lebih sadar terhadap apa yang sedang kita rasakan dan berpikir, sehingga kita bisa mengelola emosi dengan lebih tenang dan objektif. Mindfulness bukan tentang “menghapus” emosi negatif, melainkan tentang menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh penerimaan.
3. Respon dengan Sehat dan Santai
Toxic positivity bisa muncul dalam banyak bentuk, baik dari diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Maka, penting untuk memiliki strategi praktis dalam menanganinya. Berikut adalah tips dalam menghadapi toxic positivity terhadap diri sendiri maupun orang lain:
Saat Menghadapi Diri Sendiri
Kadang kita merasa harus terus bersyukur dan tidak boleh merasa sedih. Namun, penting untuk melatih self-compassion dan menerima bahwa emosi negatif itu valid. Beberapa kata yang bisa kita ucapkan ke diri sendiri adalah “Nggak apa-apa kok kalau aku lagi nggak semangat hari ini, semua orang punya hari yang berat.” atau kita juga bisa berkata “Aku boleh kok merasa kecewa, itu bukan berarti aku lemah.”
Saat Menyemangati Orang Lain
Alih-alih memaksakan semangat dengan berkata “Udah, jangan sedih.”, kita bisa membantu dengan memvalidasi perasaan mereka. Hindari kalimat seperti “Masih mending kamu…”, dan gantilah dengan penerimaan terhadap emosi yang mereka rasakan, misalnya dengan “Kamu kayaknya ngerasa sedih ya? Wajar kok, kalau kamu sedih di situasi ini.” atau “Kamu punya hak kok, untuk merasa kecewa.” Kita juga bisa menunjukkan kepedulian dengan mengatakan “Aku dengerin ya, cerita aja dulu.” atau “Aku di sini kalau kamu butuh teman.”
Saat Mendapat Toxic Positivity dari Orang Lain
Jika orang lain menyuruh kita untuk tetap positif tanpa memahami situasi kita, kita bisa merespons secara asertif dan penuh kesadaran. Misalnya, “Makasih udah nyemangatin, tapi aku butuh waktu buat ngerasain dulu perasaan ini.” atau bisa juga dengan berkata “Aku tahu maksudmu baik, tapi sekarang aku lagi butuh didengarkan dulu. Boleh, nggak?”
4. Cari dan Dukungan yang Sehat
Berbagi cerita dengan teman yang kita percayai atau mencari bantuan profesional adalah langkah yang sangat penting. Kita bisa mengingatkan diri sendiri bahwa tidak ada salahnya untuk meminta bantuan saat merasa tertekan. Hal ini sesuai dengan Theory of Communal Coping, dimana dukungan sosial yang sehat sangat membantu dalam mengurangi beban emosional (Helgeson et al., 2020).
Di FEB UGM, dukungan untuk kesehatan mental bukan sekadar wacana. Career and Student Development Unit (CSDU) menyediakan layanan konseling gratis yang bisa membantu saat beban terasa terlalu berat untuk dipikul sendiri. Selain itu, FEB UGM juga memiliki Peer Support, yaitu teman sebaya yang bisa diajak berbagi cerita dan mencari solusi bersama. Berbagi cerita dengan orang-orang yang memahami situasi yang sama dapat membantu mengurangi tekanan mental dan membuatmu merasa lebih tenang.
Perlu diingat, merasa lelah, kecewa, atau bahkan ingin menyerah bukan berarti lemah. Hal tersebut menandakan bahwa diri kita butuh istirahat dan butuh ruang untuk memulihkan energi. Merawat kesehatan mental bukanlah suatu kelemahan, melainkan suatu bentuk keberanian. Kalau merasa dunia terlalu bising, tidak ada salahnya berhenti sejenak dan mencari tempat yang aman. Ada tangan-tangan yang siap menggenggam, ada ruang yang terbuka untukmu pulang, dan ada orang sekelilingmu yang akan memberikan perlindungan. Jadi, jangan pernah merasa sendiri. Kamu hebat, kamu kuat dan kamu berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, C. E. (2017). 21 Mindfulness Exercises & Activities for Adults. Positive Psychology. Retrieved April 22, 2025, from https://positivepsychology.com/mindfulness-exercises-techniques-activities/
Cherry, K. (2024). Toxic Positivity: Why It’s Harmful, What to Say Instead. Verywell Mind. Retrieved April 22, 2025, from https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-positivity-5093958
Glasofer, D. R. (2024). What Is Acceptance and Commitment Therapy (ACT)? verywellmind. Retrieved April 22, 2025, from https://www.verywellmind.com/acceptance-commitment-therapy-gad-1393175
Helgeson, V. S., Jakubiak, B. K., Vleet, M. V., & Zajdel, M. (2017). Communal Coping and Adjustment to Chronic Illness: Theory Update and Evidence. National Library of Madicine, 2(2), 170-195. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29053057/
Hendrawan, C. (2023). BEM FKM UNAIR Ulas Dampak Toxic Positivity. Universitas Airlangga. Retrieved April 22, 2025, from https://unair.ac.id/bem-fkm-unair-ulas-dampak-toxic-positivity/
McGarvie, S. (2025). Emotional Regulation: 5 Evidence-Based Regulation Techniques. Positive Psychology. Retrieved April 22, 2025, from https://positivepsychology.com/emotion-regulation/
National Library of Madicine. (2022). In brief: Cognitive behavioral therapy (CBT) – InformedHealth.org. NCBI. Retrieved April 22, 2025, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279297/
Passmore, H. A., Howell, A. J., & Holder, M. D. (2018). Positioning implicit theories of well-being within a positivity framework. Journal of Happiness Studies, 19, 2445-2463.
Putra, R. P., Ramadhanti, A., Sasanti, A., Fadil, A., & Salsyabila, N. (2023). Toxic positivity in adolescents: An attitude of always being positive in every situation. Journal of Psychology and Instruction, 7(1), 11-21.
Wyatt, Z. (2024). The Dark Side of# PositiveVibes: Understanding Toxic Positivity in Modern Culture. Psychiatry.