• About Us
    • Career News
    • Struktur Organisasi
  • Flagship Program
    • Softskills Development
    • Mental Health Program
    • Career Days
    • Program Pra – Inkubasi Bisnis
  • Vacancy
    • Internship
    • Job
    • Scholarship Opportunities
    • Competition
  • Administration
    • Alur Pengajuan Magang
    • Alur Pengajuan Kompetisi
    • Alur Pengajuan SKPI
    • Alur Konsultasi Psikologis Mahasiswa
  • Career Support
    • Career Portal
    • Career Mapping
  • Article
    • Mental Health
    • Career Development
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • Career News
    • Struktur Organisasi
  • Flagship Program
    • Softskills Development
      • STAR LEAD
      • STAR LEAP
      • Star Reach
      • GO-WEST
      • STAR FLEET
      • Online Course
    • Mental Health Program
    • Career Days
    • Program Pra – Inkubasi Bisnis
  • Vacancy
    • Internship
      • Magang Kampus Merdeka
      • Magang Mandiri
      • Database Perusahaan Pengajuan Magang
    • Job
    • Scholarship Opportunities
    • Competition
  • Administration
    • Alur Pengajuan Magang
    • Alur Pengajuan Kompetisi
      • Peminjaman LAMP
    • Alur Pengajuan SKPI
    • Alur Konsultasi Psikologis Mahasiswa
  • Career Support
    • Career Portal
    • Career Mapping
  • Article
    • Mental Health
    • Career Development
  • Beranda
  • SDG 3
  • SDG 3
Arsip:

SDG 3

Sibuk Bukan Berarti Efektif: Menyingkap Dampak Multitasking dalam Kehidupan Mahasiswa

Berita CSDUMental Health Monday, 1 September 2025

Di tengah jadwal kuliah yang padat, tugas menumpuk, dan kegiatan organisasi yang berjalan bersamaan, kita sering kali merasa perlu mengandalkan multitasking dalam hidup kita. Multitasking terjadi ketika seseorang berusaha melakukan dua tugas secara bersamaan, berpindah dari satu tugas ke tugas lain, atau mengerjakan dua atau lebih tugas dalam waktu yang berdekatan secara cepat (American Psychological Association, 2006). Sebagai contoh, kita sedang mengetik makalah sembari mengikuti rapat daring, atau mendengarkan dosen menjelaskan materi sembari membalas pesan di grup organisasi.
Bagi sebagian mahasiswa, multitasking bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan. Dengan banyaknya tuntutan dalam satu hari, kemampuan membagi perhatian seakan menjadi keterampilan wajib. Apalagi, kemajuan teknologi membuat kita bisa membuka banyak aplikasi dalam satu layar. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kita merasa multitasking adalah solusi cerdas untuk menghemat waktu. Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah otak manusia memang didesain untuk melakukan banyak hal sekaligus? Contoh sederhananya bisa kita lihat dari percakapan berikut, ketika mahasiswa mencoba menggabungkan berbagai aktivitas dalam satu waktu.

“Eh, lagi Zoom kelas kan?”
“Iya, tapi aku juga lagi nyusun laporan praktikum. Lumayan lah, biar hemat waktu.”
“Waduh, aku malah lagi sambil buka marketplace, takut kehabisan flash sale.”

Percakapan ringan seperti ini sudah jadi hal biasa di kalangan kita. Multitasking bahkan kerap dianggap tanda produktivitas, dimana semakin sibuk dan mampu mengerjakan banyak hal sekaligus, semakin “hebat” seseorang dipandang. Namun, psikologi kognitif justru memberi gambaran berbeda terkait hal tersebut, bahwa otak manusia ternyata tidak sesederhana itu dalam membagi perhatian.

Mengapa Mahasiswa Melakukan Multitasking?
Ada beberapa alasan mengapa mahasiswa akhirnya terbiasa dengan multitasking:
1. Tekanan Berbagai Peran.
Teori Role Strain dalam psikologi sosial menjelaskan bahwa ketika seseorang memiliki banyak peran sekaligus, misalnya sebagai mahasiswa, anggota organisasi, teman, anak, serta peran lainnya, maka ia cenderung merasa kewalahan (Hopper, 2020). Salah satu strategi yang sering muncul dalam upaya memenuhi tuntutan peran tersebut secara bersamaan adalah multitasking.

2. Distraksi Teknologi.
Kehadiran gadget, terutama smartphone, memicu multitasking baik yang disengaja (mengerjakan tugas sambil buka chat) maupun tidak disengaja (notifikasi). Padahal, menurut teori Cognitive Load, otak memiliki kapasitas terbatas dalam memproses informasi. Artinya, ada batas seberapa banyak hal yang bisa kita tangani secara bersamaan (Likourezos 2021).
3. Budaya Produktivitas.
Terdapat fenomena “busy culture” atau “hustle culture” yakni semakin sibuk seseorang terlihat, semakin tinggi status sosialnya di mata orang lain. Kesibukan sering diaglorifikasi, seolah semakin sibuk seseorang maka semakin tinggi pula kesan prestasi dan keberhasilannya (Harriman, 2017). Akhirnya kita merasa bangga bisa mengerjakan banyak hal sekaligus, walau kualitasnya sering kali tidak maksimal.

Dampak Multitasking: Apa Kata Psikologi?
Walaupun multitasking sering dianggap keren, penelitian menunjukkan bahwa otak tidak benar-benar bisa fokus pada dua hal berat secara bersamaan. Ketika kita merasa sedang melakukan multitasking, kemungkinan besar kita sebenarnya hanya mengalihkan perhatian dan fokus dari satu tugas ke tugas lainnya dengan cepat, sebuah proses yang disebut task switching (Cherry, 2025). Proses ini menimbulkan switch cost, yakni dampak negatif dari perpindahan tugas yang meningkatkan beban mental, seperti memperlambat kinerja dan meningkatkan kemungkinan kesalahan (Cherry, 2025; Monsell, 2023). Fenomena ini akhirnya memunculkan pertanyaan lebih jauh mengenai dampak multitasking terhadap efektivitas kerja dan kesejahteraan psikologis individu. Berikut merupakan beberapa dampak yang dapat ditimbulkan dari multitasking:
1. Penurunan Performa dan Produktivitas
Menurut Attention Residue Theory, setiap kali kita berpindah dari satu tugas ke tugas lain, sebagian perhatian kita masih tertinggal pada tugas sebelumnya. Akibatnya, otak tidak pernah benar-benar fokus penuh pada pekerjaan yang sedang dikerjakan (Timely, 2020). Sementara itu, Cognitive Interference Theory menjelaskan bahwa perpindahan fokus berulang dapat menambah beban kognitif otak. Sumber daya mental yang terbatas dipakai ulang setiap kali otak menyesuaikan diri dengan tugas baru, sehingga energi cepat terkuras (Yousef et al., 2025). Akibatnya, energi mental cepat terkuras, dan muncul gejala seperti sulit konsentrasi, cemas, hingga penurunan kualitas kerja. Kedua teori ini menjelaskan mengapa multitasking meningkatkan beban mental dan membuat kinerja menurun. Saat multitasking, kita jadi bekerja lebih lambat, kurang efisien, dan rentan melakukan kesalahan ketika melakukan multitasking (Cherry, 2025).

2. Gangguan dalam Proses Belajar
Multitasking terbukti dapat mengganggu proses belajar. Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang melakukan multitasking dengan laptop saat kelas, menurunkan pemahaman bukan hanya bagi pelaku namun juga teman di sekitarnya (Bellur et al.., 2015). Data juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang melakukan multitasking di kelas cenderung memiliki IPK lebih rendah (Sana et al., 2013). Hal ini menjadi alasan mengapa kita sering merasa hasil belajar tidak maksimal meski sudah “sibuk” seharian.

3. Peningkatan Stres dan Kelelahan Mental
Penelitian menunjukkan bahwa multitasking terbukti meningkatkan stres, ditandai dengan naiknya detak jantung, tekanan darah, beban kerja yang dirasakan, serta memburuknya suasana hati (Recarte et al., 2020). Selain itu, kelelahan mental yang disebabkan multitasking juga dikaitkan dengan gejala kecemasan dan depresi yang lebih tinggi (Li & Fan, 2022). Pada mahasiswa, kebiasaan multitasking berlebihan, antara tugas kuliah, organisasi, dan distraksi digital, dapat mempercepat burnout, membuat mereka lebih mudah kewalahan dan kehilangan motivasi dibandingkan jika fokus pada satu hal dalam satu waktu. Jika berlangsung terus-menerus, kondisi ini bukan hanya mengganggu produktivitas, tetapi juga bisa menurunkan kualitas kesehatan mental secara keseluruhan.

Apakah Multitasking Selalu Buruk?
Multitasking tidak sepenuhnya buruk. Dalam beberapa konteks, multitasking masih bisa membantu. Multitasking relatif aman dilakukan ketika salah satu tugas bersifat otomatis atau rutin (Scott, 2023), serta ketika dua tugas menggunakan modalitas berbeda (Wickens, 2008), misalnya visual dan auditori. Contohnya, berjalan santai sambil mendengarkan musik, atau melipat pakaian sambil mendengar podcast. Dalam situasi ini, beban perhatian tidak saling tumpang tindih sehingga risiko kesalahan tetap rendah. Namun, untuk tugas-tugas yang menuntut kendali kognitif (menganalisis, belajar, menyetir, membuat keputusan cepat), multitasking hampir selalu menurunkan kinerja (APA, 2006), membuat kita lebih lambat atau lebih banyak salah. Dengan kata lain, multitasking saat belajar statistik, menulis skripsi, atau mempersiapkan presentasi bisa jadi justru kontraproduktif. Konsep ini sejalan dengan teori Deep Work, yang menekankan pentingnya fokus mendalam tanpa gangguan untuk menghasilkan karya berkualitas (Nortje, 2023). Aturan praktisnya, multitasking hanya untuk aktivitas sederhana dan rutin, sementara untuk tugas yang menuntut pemahaman, pengambilan keputusan, atau keselamatan, fokus tunggal tetap menjadi pilihan terbaik.

Cara Sehat Mengatasi Multitasking
Daripada memandang multitasking sebagai hal yang sepenuhnya buruk, mahasiswa bisa belajar mengelolanya. Kuncinya ada pada bagaimana kita menata waktu, mengelola energi, dan menjaga kesehatan mental. Berikut beberapa langkah yang bisa diterapkan:
1. Membuat Prioritas yang Jelas
Tidak semua tugas harus dikerjakan sekaligus. Mahasiswa bisa mencoba membuat to-do list harian dengan urutan prioritas. Metode Eisenhower Matrix dapat digunakan untuk memilah tugas-tugas tersebut ke dalam empat kategori. Kategori pertama berisikan tugas yang penting dan mendesak, yang harus segera diselesaikan. Kategori kedua berisi tugas yang penting tetapi tidak mendesak, yang dapat dijadwalkan untuk waktu lain. Sementara itu, kategori ketiga diisi oleh tugas yang mendesak namun tidak terlalu penting dan dapat didelegasikan kepada orang lain. Sedangkan kategori keempat dapat diisi dengan tugas yang tidak penting dan tidak mendesak, yang sebaiknya diabaikan. Dengan menerapkan strategi ini secara konsisten, mahasiswa dapat mengelola waktu dan energi secara lebih efektif. Otak tidak dipaksa menangani terlalu banyak hal sekaligus, sehingga fokus terjaga, produktivitas meningkat, dan kualitas hasil pekerjaan menjadi lebih baik.

2. Latih Fokus dengan Single-Tasking
Multitasking memang terlihat efisien, tetapi justru single-tasking lebih efektif untuk pekerjaan berat. Kita dapat menerapkan metode deep work misalnya, sediakan waktu 90 menit penuh hanya untuk belajar tanpa gangguan apapun. Termasuk mematikan notifikasi, menjauhkan ponsel, dan memberikan perhatian penuh hanya pada satu tugas. Selain itu, kita juga bisa menggunakan teknik time blocking. Caranya adalah dengan menjadwalkan blok waktu khusus untuk setiap aktivitas, sehingga kita tahu kapan harus fokus pada satu pekerjaan dan kapan bisa beralih ke tugas lain.

3. Teknik Manajemen Waktu yang Fleksibel
Kita dapat menggunakan metode Pomodoro yakni 25 menit fokus, lalu beristirahat selama 5 menit. Pola ini dapat membantu otak untuk tetap segar dan mencegah kelelahan mental. Untuk tugas yang lebih panjang, kita bisa juga memakai pola 50 menit fokus dan 10 menit istirahat.

4. Kurangi Distraksi Digital
Smartphone adalah sumber multitasking terbesar. Matikan notifikasi yang tidak penting saat sedang belajar. Kita dapat menggunakan fitur focus mode, atau simpan ponsel di tempat lain agar tidak mudah terganggu.

5. Belajar Berkata “Tidak”
Salah satu akar multitasking adalah keinginan untuk menerima semua kesempatan. Padahal, terlalu banyak mengambil peran justru bisa membuat kewalahan. Mahasiswa perlu berani menolak atau menunda hal-hal yang tidak prioritas. Dalam hal ini, keterampilan komunikasi asertif menjadi penting, misalnya “Aku pengen banget ikut, tapi sekarang aku harus fokus nyelesain tugas yang lain.” Dengan begitu, kita tetap menjaga hubungan baik sekaligus melindungi waktu dan energi, meningkatkan fokus, dan mengurangi stres.

6. Menerapkan self-compassion
Teori Self-Compassion menekankan pentingnya bersikap ramah dan tidak terlalu keras pada diri sendiri (Neff, 2003). Kita perlu menerima bahwa tidak semua hal bisa selesai sekaligus, dan itu bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari kesehatan mental yang sehat. Dengan self-compassion, kita belajar melihat keterbatasan diri secara wajar, memberi ruang untuk istirahat, dan tidak terjebak dalam rasa bersalah ketika tidak mampu memenuhi semua tuntutan.

Multitasking bisa bermanfaat untuk aktivitas sederhana, tetapi dalam hal-hal yang membutuhkan konsentrasi mendalam, penelitian psikologi menunjukkan lebih banyak kerugiannya. Mahasiswa tidak perlu menghindari multitasking sepenuhnya, tetapi hanya perlu bijak dalam mengelolanya. Jangan sampai demi menyelesaikan semua hal sekaligus, kita lupa memberi ruang bagi diri sendiri untuk benar-benar hadir pada satu momen. Ingatlah bahwa kualitas lebih berharga daripada kuantitas, dan menjaga kesehatan mental adalah bagian dari investasi jangka panjang. Kadang, yang kita butuhkan bukanlah menambah banyak aktivitas dalam satu waktu, melainkan keberanian untuk berkata “Aku akan fokus pada satu hal dulu, dan itu cukup.”

 
Referensi
1. American Psychological Association. (2006). Multitasking: Switching costs. Retrieved from https://www.apa.org/research/action/multitask
2. Bellur, S., Nowak, K. L., & Hull, K. S. (2015). Make it our time: In-class multitaskers have lower academic performance. Computers in Human Behavior, 48, 174–182. https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.01.006
3. Cherry, K. (2025, Februari 4). How multitasking affects productivity and brain health. Verywell Mind. Retrieved from https://www.verywellmind.com/multitasking-2795003
4. Harriman, M. (2017, 24 Februari). The glorification of being busy. The Stanford Daily. Retrieved from https://stanforddaily.com/2017/02/24/the-glorification-of-being-busy/
5. Hopper, E. (2020). What Is Role Strain? Definition and Examples. ThoughtCo. Retrieved from https://www.thoughtco.com/what-is-role-strain-in-sociology-4784018
6. Likourezos, V. (2021). An introduction to cognitive load theory. The Education Hub. Retrieved from https://theeducationhub.org.nz/an-introduction-to-cognitive-load-theory/
7. Monsell, S. (2003). Task switching. Trends in Cognitive Sciences, 7(3), 134–140. https://doi.org/10.1016/S1364-6613(03)00028-7
8. Neff, K. D. (2003). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2(2), 85–101. https://doi.org/10.1080/15298860309032
9. Nortje, A., & Neuhaus, M. (2023). Deep Work: The Book, the Meaning & the Author. Positive Psychology. Retrieved from https://positivepsychology.com/deep-work/
10. Sana, F., Weston, T., & Cepeda, N. J. (2013). Laptop multitasking hinders classroom learning for both users and nearby peers. Computers & Education, 62, 24–31. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2012.10.003
11. Scott, E. (2023, December 1). Single-tasking for productivity and stress management. Verywell Mind. Retrieved from https://www.verywellmind.com/single-tasking-for-productivity-and-stress-management-3144753
12. Timely. (2020). Attention residue: the reason why you can’t focus. Timely. Retrieved from https://www.timely.com/blog/attention-residue
13. Wickens, C. D. (2008). Multiple resources and mental workload. Human Factors, 50(3), 449–455. https://doi.org/10.1518/001872008X288394
14. Yousef, A. M. F., Alshamy, A., Tlili, A., Hosny, A., & Metwally, S. (2025). Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era: A Review. Brain sciences, 15(3), 283. https://doi.org/10.3390/brainsci15030283

“People Pleaser”: Ketika Ingin Menyenangkan Semua Orang Justru Menyakiti Diri Sendiri

Berita CSDUMental Health Tuesday, 12 August 2025

Sebagai seorang mahasiswa, kita sering dihadapkan pada berbagai pilihan, mulai dari diajak teman hangout ke mall, nongkrong sepulang kuliah, hingga ikut jalan-jalan dadakan di akhir pekan, padahal di saat yang sama, ada deadline tugas yang menanti untuk diselesaikan. Sekilas, semua itu tampak sebagai bentuk kontribusi dan keterlibatan. Namun, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri apakah semua itu dilakukan karena benar-benar ingin, atau semata-mata karena takut mengecewakan orang lain? Jika kita pernah merasa bersalah ketika menolak ajakan teman, atau tetap menyanggupi permintaan seseorang meski dalam kondisi lelah, mungkin kita memiliki kecenderungan sebagai seorang people pleaser.

Fenomena ini tidak jarang dijumpai di dunia perkuliahan. Banyak diantara kita yang terjebak dalam siklus untuk selalu menyenangkan orang lain demi menjaga relasi, memperoleh pengakuan, atau menghindari konflik. Akibatnya, batas antara kepedulian dan pengorbanan menjadi kabur. Dalam jangka panjang, kecenderungan ini dapat berdampak pada kesehatan mental, menurunkan produktivitas, atau bahkan menghambat perkembangan diri (Dinakaramani, 2023).

Apa Itu People Pleaser?
People pleaser merupakan istilah informal yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang cenderung menomorsatukan kepentingan orang lain demi menjaga hubungan atau citra baik, meski harus mengabaikan dirinya sendiri (Dinakaramani, 2023). Sering kali, kita merasa sulit untuk mengatakan “tidak” karena takut dianggap egois, tidak bertanggung jawab, atau tidak cukup baik. Misalnya, saat teman bertanya, “Malam ini bisa bantu revisi data, nggak?” kita tetap menjawab, “Iya, kirim aja filenya,” meski tugas sendiri belum selesai, karena takut mengecewakan atau merenggangkan persahabatan.

Di balik sikap ingin selalu menyenangkan orang lain ini, sering kali tersembunyi dorongan mendalam untuk merasa diterima dan dicintai. Menurut teori hierarki kebutuhan Maslow, manusia akan mulai mencari rasa memiliki dan ingin dihargai oleh orang lain setelah kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, dan keamanan terpenuhi (Cherry, 2024). Karena itulah, tak jarang kita merasa perlu untuk terus membantu, selalu hadir, dan tersedia kapanpun ketika dibutuhkan, semata-mata agar dianggap penting dan berharga oleh lingkungan sekitar.

Mengapa People Pleaser Bisa Hadir?
Perilaku ingin selalu menyenangkan orang lain tidak muncul begitu saja. Ada berbagai penyebab yang saling berkaitan mulai dari pola relasi masa lalu, tekanan sosial, hingga budaya kampus yang serba cepat. Berikut beberapa alasan yang paling umum menyebabkan seseorang mengalami people pleaser:

a. Pola Asuh yang Mengajarkan Cinta Itu Bersyarat
Sejak kecil, banyak dari kita belajar bahwa menjadi “baik” adalah satu-satunya cara untuk dicintai. Kita dipuji saat membantu, saat tidak merepotkan, dan saat bersikap tenang serta mengikuti aturan. Tetapi begitu kita marah, menangis, atau berkata “tidak”, kasih sayang itu perlahan menjauh dan diganti dengan tatapan kecewa, ucapan sinis, atau label anak nakal. Dari sinilah tumbuh sebuah keyakinan dalam diri bahwa cinta itu bersyarat, bahwa penerimaan hanya datang ketika kita terus menyenangkan orang lain. Carl Rogers menyebut kondisi ini sebagai conditional positive regard yakni bentuk kasih sayang yang hanya diberikan ketika kita memenuhi harapan atau standar tertentu (Sutanto, 2019). Dalam situasi ini, cinta dan penerimaan tidak muncul karena siapa diri kita sebenarnya, melainkan karena perilaku kita yang sesuai dengan keinginan orang lain. Akibatnya, kita pun tumbuh dengan dorongan untuk terus menyesuaikan diri, menyembunyikan sisi-sisi yang dianggap “tidak baik”, demi tetap merasa layak dicintai.

b. Takut Ditolak atau Ditinggalkan
Tak semua dari kita tumbuh di lingkungan yang aman secara emosional. Ada yang terbiasa ditinggal, diabaikan, atau tak diberi ruang untuk jujur terhadap perasaannya. Akibatnya, kita jadi takut apabila mengecewakan dan takut membuat orang disekitar kita menjauh. John Bowlby menjelaskan melalui attachment theory bahwa individu dengan anxious attachment akan cenderung menjaga hubungan apapun caranya, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan kenyamanan diri sendiri (Cherry, 2025).

c. Lingkungan yang Mengagungkan Produktivitas
Di lingkungan kampus yang kompetitif seperti FEB UGM, kita mudah sekali terbawa arus. Kita bangga saat terlihat sibuk, bangga menjadi bagian dari banyak kepanitiaan, dan sering merasa bersalah ketika ingin beristirahat. Hingga tanpa sadar, kita mulai menukar kesehatan mental dengan validasi sosial, yakni dengan mengorbankan ketenangan demi pengakuan dan mengabaikan kebutuhan diri demi memenuhi ekspektasi yang tak pernah benar-benar kita setujui sepenuhnya.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Berhenti menjadi people pleaser bukan berarti berhenti menjadi orang baik. Justru, ini adalah proses menjadi orang baik yang juga sehat secara emosional, yang peduli pada orang lain tanpa mengabaikan diri sendiri. Kita bisa mulai dari hal-hal kecil yang sederhana namun bermakna. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa kita tempuh:
a. Sadari Akar Kondisi
Tanpa disadari, banyak orang merasa harus selalu hadir, mampu, dan membuat semua orang senang. Pola ini kerap berakar dari pengalaman masa kecil seperti trauma emosional, kebutuhan kuat untuk diterima (sense of belonging), ketakutan akan penolakan, atau kecenderungan menghindari konflik. Akibatnya, kita takut mengecewakan, takut dianggap berubah, hingga akhirnya memikul beban yang bahkan tidak pernah kita sepakati sejak awal. Menyadari bahwa kita tidak bisa dan tidak harus menyenangkan semua orang adalah langkah penting. Melepaskan beban ini bukan berarti menyerah. Justru, ini adalah langkah berani untuk menjaga diri, menetapkan batas, dan memilih hidup yang lebih seimbang dimana kita tetap peduli pada orang lain, tapi tidak lagi mengabaikan diri sendiri.

b. Kenali dan Tegakkan Batasan Diri
Menetapkan batas (boundaries) adalah keterampilan inti untuk menjaga kesehatan mental. Tidak semua permintaan harus kita jawab. Tidak semua pesan harus langsung dibalas. Tidak semua ajakan harus dipenuhi. Cobalah jujur pada diri sendiri tentang kapan kamu butuh ruang dan kapan siap hadir. Gunakan prinsip prioritization dengan membuat daftar kegiatan yang selaras dengan nilai dan tujuanmu. Pilih aktivitas yang benar-benar penting dan selaras dengan nilai dirimu. Sisanya? Biarkan lewat. Memilih secara sadar dapat membantu mengurangi rasa kewalahan dan meningkatkan kendali atas hidup.

c. Menunda Berkata “Ya”,
Sering kali kita langsung mengiyakan sesuatu tanpa berpikir panjang. Lain kali, coba beri jeda sejenak sebelum menjawab. Alih-alih langsung mengiyakan, katakan, “Aku pikir-pikir dulu ya, nanti aku kabari lagi.” Gunakan waktu tersebut untuk mempertimbangkan. Tanyakan kepada diri kita “Apakah aku benar-benar ingin melakukan ini? Atau aku hanya nggak enak nolak takut dinilai buruk?” Membangun kesadaran seperti ini akan membantu kita membedakan mana tindakan yang tulus dan mana yang lahir dari tekanan sosial.

d. Berkata “Tidak” dengan Jujur dan Sopan
Menolak permintaan bukan berarti menyakiti orang lain, justru dapat menjadi cara sehat untuk menetapkan batas secara sehat. Misalnya Kita bisa berkata, “Maaf, aku nggak bisa bantu minggu ini karena ada deadline,” atau “Aku perlu rehat dulu, nanti aku kabari lagi kalau sudah siap bantu.” Kalimat seperti itu bukanlah bentuk dari egoisme, tetapi merupakan sebuah bentuk keberanian untuk memprioritaskan diri. Sikap ini disebut asertivitas, yaitu kemampuan menyampaikan pikiran, perasaan, dan kebutuhan secara jujur dan tegas, sambil tetap menghormati orang lain. Dengan bersikap asertif, kita melatih keseimbangan antara kepedulian terhadap orang lain dan kepedulian terhadap diri sendiri, sehingga hubungan yang terjalin menjadi lebih sehat dan saling menghargai.

e. Pelan-Pelan, Bangun Lingkungan yang Menghargai Batas
Lingkungan sosial memegang peran penting dalam membentuk kebiasaan. Perilaku saling menghargai batas akan lebih mudah berkembang jika ada contoh dan dukungan dari orang sekitar. Mulailah dari lingkaran kecil, teman sekelas; rekan kerja; atau sahabat dekat, dan biasakan saling jujur. Normalisasi kalimat seperti “Aku belum bisa bantu sekarang” tanpa rasa bersalah membantu menciptakan budaya yang sehat. Lingkungan yang sehat adalah lingkungan yang menghargai batas, memahami jeda, dan tidak mengukur nilai seseorang dari seberapa sering dia berkata “iya”. Kita juga perlu peka pada tanda kelelahan yang tidak selalu terlihat. Kadang seseorang tetap tersenyum, tapi diam-diam sedang bertahan. Maka, hadir untuk orang lain tidak selalu berarti membantu menyelesaikan tugas, kadang cukup dengan bertanya, mendengar, dan memberi ruang untuk jujur.

f. Manfaatkan Dukungan yang Sudah Tersedia
Kita tidak harus menghadapi semuanya sendirian. Di FEB UGM, kita punya ruang-ruang aman yang bisa membantu saat beban terasa terlalu berat. Career and Student Development Unit (CSDU) menyediakan layanan konseling gratis bagi mahasiswa. Kita bisa bicara tentang apapun mulai dari kecemasan, tekanan sosial, burnout, hingga konflik batin dalam relasi. Tidak ada yang terlalu sepele untuk dibahas dalam ruang konseling, semua bisa kita ceritakan. Selain itu, ada juga Peer Support, yakni teman sebaya yang telah dibekali pelatihan untuk mendengarkan secara empatik dan membantu kita melihat masalah dari sudut pandang yang lebih jernih.

Kamu tak harus jadi segalanya untuk semua orang. Karena semakin kamu sibuk memenuhi harapan di luar sana, semakin jauh kamu tersesat dari dirimu sendiri. Ada jeda yang perlu dijaga dan ada batas yang perlu dihormati. Bukan demi siapa-siapa, tapi demi dirimu yang sudah terlalu sering kamu kesampingkan. Berhentilah sebentar. Dengarkan dirimu. Peluk ia yang sudah terlalu lama diam demi menjaga semuanya tetap terlihat baik-baik saja. Karena pada akhirnya, yang paling layak kamu perjuangkan adalah dirimu sendiri.

Referensi
1. Cherry, K. (2024). Maslow’s Hierarchy of Needs Maslow believed that physiological and psychological needs motivate our actions. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-maslows-hierarchy-of-needs-4136760
2. Cherry, K. (2025). Attachment Theory: Bowlby and Ainsworth’s Theory Explained. Verywell Mind. Retrieved Juli 12, 2025, from https://www.verywellmind.com/what-is-attachment-theory-2795337
3. Sutanto, S. H. (2019). Apa Adanya atau Ada Apanya?. Buletin KPIN. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/416-apa-adanya-atau-ada-apanya
4. Dinakaramani, S. (2023, 9 Februari). Psikolog UGM bagikan tips atasi people pleaser. UGM Online. https://ugm.ac.id/id/berita/23447-psikolog-ugm-bagikan-tips-atasi-people-pleaser/

Lihat Artikel

Berita CSDU Friday, 25 July 2025

Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) kembali menorehkan prestasi membanggakan di kancah nasional. Almayla Taorayudha, mahasiswa program studi Manajemen angkatan 2024, berhasil meraih Juara 1 dalam Lomba Esai Nasional dalam rangkaian Agribusiness Festival 2025 yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada bulan Februari 2025. Kompetisi ini diikuti oleh puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia.

Berita Selengkapnya

<img src="http://karir.feb.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1691/2024/11/sdg02.jpg" alt="" width="100" height="100" class="alignnone size-full wp-image-1594" /

FEB UGM Ajak Mahasiswa Ekspresikan Diri Lewat Rangkaian Bunga

Berita CSDU Friday, 4 July 2025

Bunga bukan hanya sekadar hiasan yang memanjakan mata. Di tangan yang tepat dan melalui proses yang penuh makna, bunga bisa menjadi media untuk mengungkapkan perasaan, mengenali diri, dan bahkan membangkitkan kepercayaan diri. Mahasiswa FEB UGM diajak untuk mengekspresikan diri melalui workshop The Language of Flowers yang diadakan oleh Career and Student Development Unit (CSDU) FEB pada 23 Mei 2025.

Kepala CSDU FEB UGM, Dewi Fatmawati, S.E., M.Ec., Ph.D., menyampaikan bahwa kegiatan ini dirancang untuk memberikan ruang bagi mahasiswa dalam mengekspresikan diri melalui kreativitas. Dalam kegiatan merangkai bunga tersebut, turut dihadirkan psikolog untuk membantu para mahasiswa menggali makna emosional di balik pilihan bunga yang dirangkai.

Ujian Lebih Semangat, FEB UGM Bagikan Sarapan Gratis Lewat Program Mood Booster

Berita CSDU Friday, 4 July 2025

Dalam rangka mendukung kesejahteraan mahasiswa, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) melalui Career and Student Development Unit (CSDU) kembali menjalankan program Mood Booster selama periode Ujian Akhir Semester (UAS) semester genap tahun ajaran 2025/2026. Program ini diwujudkan dengan menyediakan sarapan gratis bagi mahasiswa selama UAS. FEB UGM menyediakan 150 porsi makanan dengan berbagai varian menu setiap harinya mulai Senin, 2 Juni 2025 hingga Jumat, 13 Juni 2025.

Periode Mood Booster kali ini mengambil tema berkelanjutan dari program Mood Booster saat Ujian Tengah Semester (UTS) sebelumnya dengan tema “Time Capsule”

Berita Selengkapnya

Diam-Diam Lelah: Duck Syndrome dan Beban yang Tak Terucapkan

Berita CSDUMental Health Friday, 4 July 2025

Di balik unggahan prestasi, senyum saat rapat organisasi, dan obrolan santai di kantin, bisa jadi ada seseorang yang sangat lelah menjalani hidupnya. Bukan lelah fisik semata, tapi lelah karena terus merasa harus terlihat baik-baik saja. Kita, sebagai mahasiswa, seringkali terbiasa menyembunyikan tekanan dalam diam, tetap tampil tenang di permukaan, meski sebenarnya sedang kewalahan. Fenomena inilah yang dikenal sebagai Duck Syndrome.

Ibarat seekor bebek yang tampak mengapung anggun di permukaan air, padahal di bawahnya kakinya sedang mendayung panik, begitulah banyak dari kita menjalani kehidupan perkuliahan. Terlihat santai dan terkontrol, padahal sedang berusaha keras agar tidak “tenggelam” dalam tuntutan hidup akademik dan sosial. Duck syndrome atau floating duck syndrome adalah kondisi ketika seseorang tampak tenang dan baik-baik saja dari luar, padahal sebenarnya sedang berjuang keras secara mental dan emosional di balik layar (Travers, 2024). Istilah ini diibaratkan seperti bebek yang terlihat tenang di permukaan air, tapi kakinya mengayuh cepat di bawahnya. Awalnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan fenomena di kalangan mahasiswa Stanford University. Namun, pada kenyataannya, kondisi serupa banyak dialami oleh mahasiswa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, sebagai respons atas tekanan dalam menyeimbangkan tuntutan akademik, aktivitas nonakademik, dan kehidupan sosial (Riley, 2023).

Mengapa Duck Syndrome Bisa Terjadi?
Duck Syndrome bukan terjadi begitu saja. Ia tumbuh perlahan dari rutinitas dan kebiasaan yang sering kali kita anggap “wajar” sebagai mahasiswa. Tekanan akademik, tuntutan sosial, ekspektasi diri, dan budaya perbandingan menjadi kumpulan faktor yang saling bertumpuk, hingga tanpa sadar membuat kita merasa harus selalu terlihat baik-baik saja padahal tidak. Berikut beberapa penyebab umum yang membuat banyak mahasiswa mungkin termasuk kita sendiri terjebak dalam pola diam-diam lelah ini:
1. Terlalu Banyak Tuntutan, Terlalu Sedikit Ruang untuk Diri Sendiri
Sebagai mahasiswa, kita sering merasa perlu mengambil semua kesempatan, mulai dari bergabung organisasi, mengikuti banyak lomba, magang, hingga menjadi asisten dosen, sambil tetap menjaga IPK agar tetap tinggi. Semuanya dilakukan bukan karena ingin, tapi karena takut tertinggal. Kita merasa harus aktif karena “semua orang juga aktif”. Akibatnya, kita kehilangan kendali atas pilihan hidup sendiri. Bukan lagi memilih berdasarkan minat, tapi berdasarkan tekanan sosial dan ekspektasi dari lingkungan.
Konsep ini didukung oleh teori Self-Determination yang menyebut bahwa manusia membutuhkan rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness) (Cherry, 2024). Tetapi saat semua keputusan kita didasarkan pada tekanan dari luar diri kita, maka semua kebutuhan dasar tersebut perlahan tidak bisa dipenuhi.
2. Menekan Emosi Demi Citra yang Sempurna
Banyak dari kita merasa tidak boleh terlihat lelah, apalagi menyerah. Kita takut dianggap tidak sanggup, tidak tahan banting, tidak cukup baik. Maka kita terus tersenyum, terus datang ke rapat, terus update kegiatan padahal dalam hati kita mungkin ingin berhenti sejenak.
Perfeksionisme, menurut Rinawardani (2024), dapat membuat seseorang selalu ingin terlihat bahagia dan baik-baik saja. Orang yang cenderung perfeksionis membuat standar hidup yang tinggi dan sulit menerima kegagalan dalam hidup. Tekanan untuk mempertahankan citra diri yang sempurna dapat mendorong seseorang menyembunyikan kesulitan atau kegagalan yang sedang dialaminya.
3. Budaya Saling Banding dan Obsesi Akan Pengakuan
Media sosial membuat segalanya terlihat kompetitif. Timeline kita penuh dengan pencapaian orang lain, mulai dari melihat banyak orang berhasil memenangkan lomba, magang di perusahaan besar, skripsi selesai lebih cepat, atau liburan ke tempat aesthetic. Di sisi lain, kita merasa hidup kita datar-datar saja. Untuk mengimbanginya, kita berusaha tampil produktif juga. Kita bangun citra sebagai “mahasiswa ideal” dengan selalu aktif dan tidak pernah mengeluh.
Konsep ini selaras dengan Impression Management Theory, dimana kita secara aktif sadar atau tidak sadar mengatur bagaimana orang melihat kita (Hayuputri, 2018). Kita takut dicap lemah atau gagal, jadi kita terus jaga tampilan luar. Bahkan ketika sudah sangat lelah, kita tetap menjawab, “Masih aman, kok,” hanya agar tidak terlihat goyah. Padahal kenyataannya, banyak dari kita hanya terlihat mampu bukan benar-benar mampu.

Kenapa Duck Syndrome Berbahaya?
Duck Syndrome bukan sekadar kelelahan sesaat yang bisa diatasi dengan tidur semalam atau liburan akhir pekan. Hal ini merupakan bentuk tekanan psikologis yang terjadi secara diam-diam, namun dapat berdampak dalam jangka panjang jika terus diabaikan. Mahasiswa yang mengalaminya sering merasa harus terus bergerak, terus terlihat kuat, dan terus membuktikan diri, padahal di dalamnya sedang kehabisan tenaga.
Bahaya utamanya adalah sifatnya yang tidak kasat mata. Karena tampak “baik-baik saja” di permukaan, banyak dari kita bahkan diri sendiri gagal menyadari bahwa apa yang sedang kita alami adalah bentuk distress psikologis. Kita mungkin sering beranggapan bahwa “Semua orang juga capek, aku nggak boleh ngeluh.”
“Mungkin memang harus begini kalau mau sukses.”
“Kalau aku berhenti sekarang, berarti aku lemah.”

Padahal di balik dorongan untuk terus terlihat mampu, kita sedang mengorbankan sesuatu yang lebih penting, yakni kesehatan mental kita sendiri. Jika dibiarkan terus-menerus, Duck Syndrome bisa berkembang menjadi gangguan serius seperti kecemasan kronis, kesulitan tidur (insomnia), penurunan motivasi dan konsentrasi, bahkan burnout kondisi ketika tubuh dan pikiran merasa benar-benar habis, kosong, dan tidak bersemangat menjalani aktivitas apapun, termasuk hal-hal yang dulu kita sukai (Nismara, 2023).

Teori Cognitive Dissonance menjelaskan bahwa ketidakselarasan antara yang dirasa dan yang ditampilkan akan menciptakan tekanan psikologis (Neuhaus, 2021). Konflik antara perasaan dalam dan ekspresi luar ini menimbulkan ketegangan batin yang terus-menerus. Ketika kita terus memaksakan diri untuk terlihat kuat padahal tidak, lambat laun kita sendiri akan merasa bingung: “Sebenarnya aku ini bahagia atau cuma sibuk?”
Lebih dari itu, tekanan yang terpendam juga dapat memengaruhi hubungan sosial (Nismara, 2023). Kita mulai menjauh dari teman, merasa kesepian meskipun berada di tengah keramaian, atau bahkan menarik diri dari lingkungan karena takut terlihat “tidak cukup baik.” Maka dari itu, kesadaran untuk mengenali dan merespons Duck Syndrome perlu ditumbuhkan sebelum semuanya menjadi terlalu berat.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Menghadapi Duck Syndrome bukan soal mengubah semuanya secara drastis, tetapi tentang mulai menyayangi diri sendiri sedikit demi sedikit. Kita tidak harus selalu kuat. Kita hanya perlu mulai jujur, mulai membuka ruang untuk bernafas, dan belajar mengenali batas. Berikut adalah beberapa langkah nyata yang bisa kita lakukan untuk mengatasi Duck Syndrome:
1. Jujur terhadap diri sendiri
Bersikap jujur tidak berarti kita harus membuktikan ke publik bahwa kita sedang berjuang—cukup dengan jujur pada diri sendiri bahwa kesulitan adalah bagian dari proses hidup. Rasa sedih, cemas, atau gagal itu wajar, dan it’s okay to not be okay. Dengan menerima emosi-emosi itu, kita memberi ruang bagi diri untuk pulih dan tumbuh. Tidak apa-apa jika hari ini terasa berat atau kita tidak seproduktif biasanya. Poin terpenting, kita tetap berempati pada diri sendiri dan ingat bahwa kita tetap berharga, bahkan saat tidak dalam versi terbaik kita.

2. Mengelola ekspektasi terhadap diri sendiri
Kita tidak harus selalu sempurna. Wajar jika kita tidak bisa mengikuti semua standar yang ada di sekitar. Media sosial sering kali hanya menampilkan potongan momen terbaik seseorang, bukan keseluruhan perjuangannya. Maka, bandingkan diri kita hanya dengan diri kita sendiri versi kemarin dan hari ini. Apresiasi kemajuan sekecil apa pun yang telah kita lakukan.

Kita juga perlu belajar mengelola ekspektasi dari orang lain. Tidak semua harapan atau tuntutan orang terhadap kita harus dipenuhi, apalagi jika itu mengorbankan kesehatan mental atau nilai-nilai pribadi kita. Misalnya, kita sering merasa bersalah saat menolak tanggung jawab tambahan atau memilih istirahat, padahal itu adalah bentuk kepedulian terhadap diri sendiri. Maka, penting untuk mengenali batas diri dan belajar berkata “tidak” tanpa merasa bersalah. Tidak semua hal harus dijalani sekaligus. Belajar memilah mana yang memang penting, mana yang bisa ditunda, dan mana yang sebenarnya bukan tanggung jawab kita adalah keterampilan hidup yang penting untuk dimiliki.

3. Berani bercerita dan membuka ruang dialog
Tidak semua cerita harus disimpan sendiri. Menyampaikan perasaan bukanlah tanda kelemahan, tapi bentuk keberanian untuk mengenali dan mengelola emosi. Bercerita kepada orang yang dipercaya entah itu sahabat, keluarga, mentor, atau konselor dapat menjadi langkah awal untuk merasa lega. Bahkan kadang, hanya dengan didengarkan tanpa dihakimi saja, beban terasa lebih ringan.

4. Membangun lingkungan yang suportif
Lingkungan kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang hidup yang sehat secara sosial. Bangun kebiasaan saling menyapa, saling menanyakan kabar, dan menciptakan ruang aman di antara teman. Terkadang, satu kalimat sederhana seperti “kamu nggak sendiri” bisa berdampak jauh lebih besar dari yang kita kira. Dengan membantu orang lain, kita saling menumbuhkan empati, menguatkan, dan menghadirkan rasa nyaman satu sama lain.

5. Gunakan layanan dukungan yang tersedia
Di FEB UGM, Career and Student Development Unit (CSDU) menyediakan dukungan kesehatan mental melalui layanan konseling gratis yang bisa menjadi tempat aman untuk berbagi cerita, mencurahkan isi pikiran, dan menemukan jalan keluar. Selain itu, FEB UGM juga memiliki Peer Support, yaitu teman sebaya yang telah dilatih untuk menjadi pendengar dan pendamping yang suportif bagi teman-teman mahasiswa. Dengan berbagi cerita kepada orang-orang yang memahami dan berada dalam situasi serupa, tekanan batin yang berat bisa terasa lebih ringan, dan proses pemulihan pun bisa dimulai dengan lebih tenang.

Karena pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar “baik-baik saja” setiap saat. Kita tidak perlu terus berpura-pura mampu demi terlihat kuat. Mengakui bahwa kita sedang lelah adalah langkah pertama untuk mulai pulih. Tidak apa-apa jika sesekali kita berhenti sejenak, tidak apa-apa jika kita tidak ikut semua kegiatan, dan tidak apa-apa jika satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hari ini hanyalah bertahan. Sebab bertahan pun adalah bentuk keberanian. Dan dari keberanian itulah, kita akan menemukan kembali cahaya untuk melangkah.

Referensi
1. Cherry, K. (2024). Self-Determination Theory in Psychology. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-self-determination-theory-2795387
2. Hayuputri, F. M. (2018). Fenomena Impression Management pada Media Sosial. Buletin KPIN. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/276-fenomena-impression-management-pada-media-sosial
3. Neuhaus, M. (2021). Cognitive Dissonance: Theory, Examples & How to Reduce It. Positive Psychology. https://positivepsychology.com/cognitive-dissonance-theory/
4. Nismara, A. V. A. (2023). Hati-Hati Jadi Bebek! Kenali Lebih Lanjut tentang Kondisi Duck Syndrome. P2TKP Sanata Dharma Yogyakarta. https://unit.usd.ac.id/pusat/p2tkp/hati-hati-jadi-bebek-kenali-lebih-lanjut-tentang-kondisi-duck-syndrome/
5. Rinawati, N. M. D. (2024). Duck Syndrome. Dalam D. P. Habsara (Ed.), Penatalaksanaan Psikologi untuk Kasus Normal Bermasalah Jilid 2 (hal. 130-138). Pustaka Pelajar
6. Riley, O. (2023, May 8). Barely staying afloat: The pervasive culture of duck syndrome at Stanford. The Standford Daily. https://stanforddaily.com/2023/05/28/barely-staying-afloat-the-pervasive-culture-of-duck-syndrome-at-stanford/
7. Travers, M. (2024). The Causes and Effects of “Floating Duck Syndrome”. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/social-instincts/202404/the-causes-and-effects-of-floating-duck-syndrome

Program Berlayar: Bercerita dan Peduli Kesehatan Mental

Berita CSDU Monday, 5 May 2025

FEB UGM berkomitmen kuat untuk mewujudkan ekosistem kampus yang inklusif dan ramah dan peduli terhadap kesehatan mental civitas akademiknya. Berbagi inisiatif dikembangkan oleh FEB UGM melalui Career and Student Development (CSDU) FEB UGM untuk meningkatkan kesejahteraan mental, termasuk bagi mahasiswa. Inisiatif tersebut salah satunya diwujudkan melalui penyelenggaraan program Berlayar (Bercerita Melalui Layar): Screening Film dan Dialog Bermakna yang bekerjasama dengan The Equity Initiative Funding, Yayasan Rumpun Nurani, serta Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia, Jum’at (25/4/2025) di Ruang Audio Visual FEB UGM.

Berita Selengkapnya

Positif Terus? Toxic Positivity Bisa Bikin Kita Stres, Lho!

Berita CSDUMental Health Tuesday, 29 April 2025

Di kehidupan yang penuh tuntutan dan ekspektasi, kita sering kali merasa harus selalu tampil kuat, ceria, dan penuh semangat. Terkadang, saat kita merasa lelah atau kecewa, kita justru menghibur diri dengan kalimat seperti, “Nggak apa-apa, yang penting tetap positif!” atau “Aku harus tetap bahagia!” Namun, tanpa kita sadari, kebiasaan seperti ini bisa berbahaya, terutama bagi kesehatan mental kita. Hal demikian dikenal dengan istilah toxic positivity yaitu sebuah sikap yang menuntut kita untuk selalu berpikir positif, bahkan ketika kita merasa tidak baik-baik saja.

Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity merujuk pada sikap atau pandangan yang memaksakan kebahagiaan atau optimisme secara berlebihan dan tidak realistis, sekaligus menolak atau mengabaikan perasaan negatif (Cherry, 2024). Hal ini bisa muncul dalam bentuk menyangkal emosi diri sendiri atau orang lain. Mungkin kita pernah mendengar kalimat seperti, “Hidup harus selalu positif, jangan terlalu memikirkan hal buruk,” atau “Semua orang pasti punya masalah, jadi jangan terlalu merasa sedih dan merasa paling tersakiti.”
Padahal, menurut Emotional Regulation Theory (McGarvie, 2025), memaksakan diri untuk selalu positif justru membuat kita menekan emosi yang sebenarnya perlu diproses. Dan ini malah bisa memperburuk kondisi kesehatan mental kita. Penting untuk diingat bahwa perasaan negatif seperti rasa cemas, kecewa, atau lelah adalah bagian alami dari hidup kita (Cherry, 2024). Dalam pendekatan Acceptance and Commitment Therapy (ACT), diterangkan bahwa menerima perasaan negatif ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan dan kesejahteraan mental (Glasofer, 2024).

Toxic Positivity vs. Optimisme
Tentunya, ada manfaat dari berpikir positif dan bersikap optimis. Memiliki pandangan positif terhadap kehidupan bisa berdampak baik untuk kesejahteraan mental seseorang (Passmore dkk., 2018). Masalahnya, hidup tidak selalu positif. Kita semua mengalami emosi dan pengalaman yang menyakitkan. Toxic positivity memiliki pendekatan “good vibes only” dan mengabaikan emosi-emosi yang tampak negatif (Cherry, 2024). Sehingga, yang membedakan toxic positivity dengan optimisme adalah: penerimaan atau validasi terhadap emosi yang dirasakan.
Kita sering merasa bahwa mengakui perasaan negatif adalah bentuk kelemahan. Kalimat seperti “Jangan terlalu galau, pikirin hal positif aja” atau “Kamu harus tetap semangat, jangan baper!” sering kali terdengar. Meski kalimat-kalimat positif dimaksudkan untuk memberikan dukungan dan motivasi, respon tersebut bisa kurang tepat jika disampaikan pada waktu yang salah tanpa memperhatikan perasaan dan permasalahan yang dialami lawan bicara. Walaupun berawal dari niat yang baik, toxic positivity dapat menyebabkan dampak psikologis yang signifikan ketika mengabaikan atau meniadakan pengalaman emosional yang sebenarnya (Wyatt, 2024).
Mengabaikan perasaan yang sulit bisa berbahaya. Menurut Cognitive Behavioral Therapy (CBT), menekan atau mengabaikan perasaan negatif hanya memperkuat pola pikir yang tidak sehat (National Library of Medicine, 2022). Dengan tidak memberi ruang untuk merasakan emosi yang buruk, kita malah memperburuk perasaan tersebut dan memperlambat proses pemulihan (National Library of Medicine, 2022). Meskipun menunda emosi yang sulit terkadang diperlukan untuk sementara waktu, menyangkal perasaan negatif dalam jangka panjang dapat berdampak buruk karena dapat menghambat seseorang dalam memproses emosinya dan mengatasi kesulitannya.

Apa Dampak dari Toxic Positivity?
Saat kita terus menerus menekan perasaan dan memaksakan diri atau orang lain untuk selalu positif, kita justru berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan mental. Berikut adalah beberapa dampaknya:
1. Kecemasan dan Stres
Putra dkk. (2023) menemukan bahwa toxic positivity dapat menyebabkan tekanan emosional yang signifikan. Menekan emosi negatif dapat menambah beban stres yang sudah kita rasakan. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan kecemasan yang berlebihan. Kita mungkin merasa takut untuk gagal atau takut dianggap lemah, dan ini justru memperburuk kondisi mental kita (Hendrawan, 2023).
2. Meningkatkan Risiko Gangguan Mental
Mengabaikan perasaan negatif yang terus menumpuk tanpa diberi kesempatan untuk diproses bisa berujung pada depresi. Perasaan tidak dianggap atau terabaikan bisa memperburuk perasaan kesepian dan tidak berdaya (Hendrawan, 2023).
3. Burnout
Ketika kita memaksakan diri untuk selalu tampil kuat tanpa memberi ruang untuk beristirahat atau mereset emosi, kita berisiko mengalami burnout. Kita bisa merasa kelelahan fisik dan mental yang parah, yang mengganggu produktivitas dan kesehatan kita secara keseluruhan (Hendrawan, 2023).

Bagaimana Menghadapi Toxic Positivity?
Jika kita ingin menjaga keseimbangan antara emosi positif dan negatif, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan:
1. Terima Semua Perasaan yang Ada
Langkah pertama adalah menerima bahwa kita tidak selalu harus merasa baik-baik saja. Terkadang, merasa cemas atau sedih itu normal, dan itu bukan berarti kita lemah. Menurut Acceptance and Commitment Therapy (ACT), menerima semua perasaan kita baik positif maupun negatif adalah bagian dari proses penyembuhan dan kesejahteraan (Glasofer, 2024). Untuk menghadapi toxic positivity, kita perlu melatih pandangan yang lebih realistis, bahwa emosi negatif adalah bagian yang alami dan diperlukan dalam kehidupan (Wyatt, 2024).
2. Kelola Stres dengan Mindfulness
Teknik mindfulness seperti meditasi, pernapasan sadar, dan journaling bisa menjadi cara efektif untuk meredakan stres tanpa mengabaikan perasaan yang muncul. Menurut Ackerman (2017), mindfulness membantu kita lebih sadar terhadap apa yang sedang kita rasakan dan berpikir, sehingga kita bisa mengelola emosi dengan lebih tenang dan objektif. Mindfulness bukan tentang “menghapus” emosi negatif, melainkan tentang menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh penerimaan.
3. Respon dengan Sehat dan Santai
Toxic positivity bisa muncul dalam banyak bentuk, baik dari diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Maka, penting untuk memiliki strategi praktis dalam menanganinya. Berikut adalah tips dalam menghadapi toxic positivity terhadap diri sendiri maupun orang lain:
Saat Menghadapi Diri Sendiri
Kadang kita merasa harus terus bersyukur dan tidak boleh merasa sedih. Namun, penting untuk melatih self-compassion dan menerima bahwa emosi negatif itu valid. Beberapa kata yang bisa kita ucapkan ke diri sendiri adalah “Nggak apa-apa kok kalau aku lagi nggak semangat hari ini, semua orang punya hari yang berat.” atau kita juga bisa berkata “Aku boleh kok merasa kecewa, itu bukan berarti aku lemah.”
Saat Menyemangati Orang Lain
Alih-alih memaksakan semangat dengan berkata “Udah, jangan sedih.”, kita bisa membantu dengan memvalidasi perasaan mereka. Hindari kalimat seperti “Masih mending kamu…”, dan gantilah dengan penerimaan terhadap emosi yang mereka rasakan, misalnya dengan “Kamu kayaknya ngerasa sedih ya? Wajar kok, kalau kamu sedih di situasi ini.” atau “Kamu punya hak kok, untuk merasa kecewa.” Kita juga bisa menunjukkan kepedulian dengan mengatakan “Aku dengerin ya, cerita aja dulu.” atau “Aku di sini kalau kamu butuh teman.”
Saat Mendapat Toxic Positivity dari Orang Lain
Jika orang lain menyuruh kita untuk tetap positif tanpa memahami situasi kita, kita bisa merespons secara asertif dan penuh kesadaran. Misalnya, “Makasih udah nyemangatin, tapi aku butuh waktu buat ngerasain dulu perasaan ini.” atau bisa juga dengan berkata “Aku tahu maksudmu baik, tapi sekarang aku lagi butuh didengarkan dulu. Boleh, nggak?”
4. Cari dan Dukungan yang Sehat
Berbagi cerita dengan teman yang kita percayai atau mencari bantuan profesional adalah langkah yang sangat penting. Kita bisa mengingatkan diri sendiri bahwa tidak ada salahnya untuk meminta bantuan saat merasa tertekan. Hal ini sesuai dengan Theory of Communal Coping, dimana dukungan sosial yang sehat sangat membantu dalam mengurangi beban emosional (Helgeson et al., 2020).
Di FEB UGM, dukungan untuk kesehatan mental bukan sekadar wacana. Career and Student Development Unit (CSDU) menyediakan layanan konseling gratis yang bisa membantu saat beban terasa terlalu berat untuk dipikul sendiri. Selain itu, FEB UGM juga memiliki Peer Support, yaitu teman sebaya yang bisa diajak berbagi cerita dan mencari solusi bersama. Berbagi cerita dengan orang-orang yang memahami situasi yang sama dapat membantu mengurangi tekanan mental dan membuatmu merasa lebih tenang.

Perlu diingat, merasa lelah, kecewa, atau bahkan ingin menyerah bukan berarti lemah. Hal tersebut menandakan bahwa diri kita butuh istirahat dan butuh ruang untuk memulihkan energi. Merawat kesehatan mental bukanlah suatu kelemahan, melainkan suatu bentuk keberanian. Kalau merasa dunia terlalu bising, tidak ada salahnya berhenti sejenak dan mencari tempat yang aman. Ada tangan-tangan yang siap menggenggam, ada ruang yang terbuka untukmu pulang, dan ada orang sekelilingmu yang akan memberikan perlindungan. Jadi, jangan pernah merasa sendiri. Kamu hebat, kamu kuat dan kamu berharga.

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, C. E. (2017). 21 Mindfulness Exercises & Activities for Adults. Positive Psychology. Retrieved April 22, 2025, from https://positivepsychology.com/mindfulness-exercises-techniques-activities/
Cherry, K. (2024). Toxic Positivity: Why It’s Harmful, What to Say Instead. Verywell Mind. Retrieved April 22, 2025, from https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-positivity-5093958
Glasofer, D. R. (2024). What Is Acceptance and Commitment Therapy (ACT)? verywellmind. Retrieved April 22, 2025, from https://www.verywellmind.com/acceptance-commitment-therapy-gad-1393175
Helgeson, V. S., Jakubiak, B. K., Vleet, M. V., & Zajdel, M. (2017). Communal Coping and Adjustment to Chronic Illness: Theory Update and Evidence. National Library of Madicine, 2(2), 170-195. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29053057/
Hendrawan, C. (2023). BEM FKM UNAIR Ulas Dampak Toxic Positivity. Universitas Airlangga. Retrieved April 22, 2025, from https://unair.ac.id/bem-fkm-unair-ulas-dampak-toxic-positivity/
McGarvie, S. (2025). Emotional Regulation: 5 Evidence-Based Regulation Techniques. Positive Psychology. Retrieved April 22, 2025, from https://positivepsychology.com/emotion-regulation/
National Library of Madicine. (2022). In brief: Cognitive behavioral therapy (CBT) – InformedHealth.org. NCBI. Retrieved April 22, 2025, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279297/
Passmore, H. A., Howell, A. J., & Holder, M. D. (2018). Positioning implicit theories of well-being within a positivity framework. Journal of Happiness Studies, 19, 2445-2463.
Putra, R. P., Ramadhanti, A., Sasanti, A., Fadil, A., & Salsyabila, N. (2023). Toxic positivity in adolescents: An attitude of always being positive in every situation. Journal of Psychology and Instruction, 7(1), 11-21.
Wyatt, Z. (2024). The Dark Side of# PositiveVibes: Understanding Toxic Positivity in Modern Culture. Psychiatry.

FEB UGM Kembali Bagikan Sarapan Gratis Untuk Mahasiswa Selama Ujian Semester

Berita CSDU Thursday, 10 April 2025

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) kembali menyediakan sarapan gratis bagi mahasiswa selama ujian tengah semester (UTS) semester genap tahun ajaran 2024/2025. Selama masa UTS berlangsung mulai 8-17 April 2025, FEB UGM menyediakan sebanyak 150 porsi makan sehat setiap harinya. Program penyediaan sarapan gratis bagi mahasiswa ini merupakan wujud kepedulian terhadap kesejahteraan mahasiswa. Inisiatif ini dijalankan melalui Program Mood Booster yang diselenggarakan oleh Career and Student Development Unit (CSDU) sejak tahun 2023 lalu.

Berita Selengkapnya

Jurus Sakti Menangkis Pertanyaan Basa-Basi ala Mahasiswa FEB UGM

Berita CSDUMental Health Wednesday, 12 March 2025

Lebaran merupakan momen yang dinanti-nanti oleh banyak orang, karena menjadi waktu berkumpul bersama keluarga besar, berbagi kebahagiaan, dan mempererat tali silaturahmi. Namun, bagi kita, terutama yang masih dalam perjuangan menyelesaikan studinya, momen ini sering kali menjadi ajang pertanyaan basa-basi yang terkadang justru menimbulkan ketidaknyamanan. Pertanyaan seperti “Kapan lulus?”, “Kok belum kerja?”, atau “Kapan nikah?” sering kali terdengar sepele, tetapi bagi sebagian orang, terutama kita yang sedang menghadapi tekanan akademik atau persoalan pribadi, pertanyaan-pertanyaan ini bisa terasa seperti tekanan sosial. Bahkan, pertanyaan mengenai perubahan fisik, seperti “Kok gendutan?” atau “Sekarang kurusan ya?”, juga bisa membuat kita merasa tidak nyaman.
Dalam budaya Indonesia, basa-basi sering kali dianggap sebagai bentuk kepedulian dan keakraban. Namun, hal ini tidak jarang justru menjadi pemicu kecemasan dan tekanan mental, terutama jika kita merasa belum mencapai ekspektasi sosial tertentu. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami cara menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini agar tetap merasa nyaman dan dapat menikmati momen lebaran dengan tenang.

Mengapa Pertanyaan Basa-Basi Bisa Mengganggu?
Bagi sebagian orang, pertanyaan semacam ini mungkin terdengar wajar dan tidak bermaksud menyakiti. Namun, bagi kita yang sedang mengalami tekanan akademik, masalah pribadi, atau masih dalam tahap pencarian jati diri, pertanyaan tersebut dapat menambah beban pikiran. Menurut teori Cognitive Appraisal dari Lazarus & Folkman, menjelaskan bahwa stres bukan hanya respons otomatis terhadap suatu situasi, tetapi hasil dari penilaian kognitif individu terhadap peristiwa atau situasi tertentu, apakah mereka menilai sebagai ancaman, tekanan, atau lain sebagainya (Matahari, 2023). Jika pertanyaan basa-basi dianggap sebagai bentuk tekanan, maka tubuh dan pikiran akan bereaksi dengan stres. Oleh karena itu, mengubah cara pandang kita terhadap pertanyaan ini bisa menjadi langkah awal untuk menghadapinya dengan lebih santai.
Selain itu, terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa social pressure atau tekanan sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental seseorang (Qudsyi et al, 2020). Jika seseorang dapat mengelola tekanan ini dengan baik, maka bisa menjadi motivasi untuk berkembang. Namun, jika tidak ditangani dengan baik, tekanan sosial dapat menyebabkan kecemasan, stres, bahkan menurunkan rasa percaya diri. Untuk itu, mahasiswa perlu memahami strategi yang tepat agar tidak terlalu terpengaruh dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul selama momen Lebaran. Berikut beberapa cara bijak yang bisa diterapkan:

Cara Bijak Menghadapi Pertanyaan Basa-Basi Saat Lebarana

1. Jawab dengan Santai dan Humor
Salah satu cara efektif menghadapi pertanyaan yang kurang nyaman adalah dengan menggunakan humor. Berdasarkan teori Humor Coping Strategy, humor dapat membantu mengurangi stres dalam situasi sosial yang kurang nyaman (Simione & Gnagnarella, 2023). Jika ada yang bertanya, “Kapan lulus?”, kamu bisa menjawab dengan nada santai, seperti “Doakan saja semoga cepat lulus, biar bisa traktir nanti!” Atau jika ditanya, “Kok masih kuliah terus?”, bisa menjawab dengan candaan “Iya nih, kayaknya kampus betah sama aku!” Jawaban yang ringan seperti ini bisa mengalihkan suasana dan membuat lawan bicara ikut tertawa, sehingga percakapan terasa lebih menyenangkan.

2. Gunakan Komunikasi Asertif
Menurut Burgon & Huffner, dalam LM Psikologi UGM (2021), terdapat salah satu cara agar komunikasi berjalan secara efektif, yaitu dengan komunikasi asertif. Komunikasi asertif merupakan sebuah teknik berkomunikasi di mana seseorang dapat menyampaikan pendapatnya secara lugas tanpa menyinggung orang tertentu baik secara verbal maupun nonverbal (LM Psikologi UGM, 2021). Jika pada saat lebaran kamu mendapatkan pertanyaan basa-basi yang membuatmu merasa tidak nyaman, kamu bisa menjawab dengan tegas namun tetap menjaga kesopanan. Contohnya jika ditanya, “Kapan kerja?” atau “Kenapa belum nikah?”, kamu bisa menjawab “Wah, masih berproses, Om/Tante. Tapi lebih seru kalau kita bahas hal yang lain, deh!” Dengan jawaban ini, kamu bisa tetap menjaga hubungan baik tanpa harus merasa tertekan.

3. Alihkan Pembicaraan ke Topik Lain
Teknik Redirecting Conversation sangat efektif dalam menghindari topik yang kurang nyaman (Nguyen et al., 2024). Saat mendapatkan pertanyaan yang mengarah ke tekanan sosial, kamu bisa langsung mengubah topik pembicaraan dengan bertanya balik sesuatu yang lebih netral. Misalnya “Om/Tante, Lebarannya tahun ini di mana?”, “Kemarin sempat liburan ke mana, nih?”, “Gimana kabar anak-anak Om/Tante?” Dengan cara ini, perhatian lawan bicara akan teralihkan, dan kamu tidak perlu terlalu lama membahas hal yang tidak nyaman.

4. Jangan Terlalu Dipikirkan
Menurut teori Mindfulness, menerima sesuatu tanpa berlebihan dalam menilai dapat mengurangi beban pikiran (Safitri & Nugroho, 2023). Hasil penelitian Ma dan Fang (2019) mengatakan bahwa remaja dengan kemampuan mindfulness tingkat tinggi menyebabkan tingkat tekanan psikologis yang lebih rendah termasuk depresi, kecemasan, dan stres karena memiliki kemampuan regulasi emosi yang komprehensif. Kebanyakan orang yang bertanya sebenarnya tidak benar-benar peduli dengan jawaban kita mereka hanya ingin berbasa-basi. Kita dapat mencoba untuk tidak terlalu memikirkan atau menganalisis setiap pertanyaan secara mendalam. Jika kamu merasa terganggu, tarik napas dalam-dalam, tenangkan diri, dan anggap saja itu hanya sekedar obrolan ringan yang tidak perlu dibawa hati.

5. Bersikap Jujur Jika Perlu
Jika kamu merasa cukup nyaman, tidak ada salahnya untuk jujur dan terbuka mengenai kondisi yang sedang kamu alami. Jika ada yang bertanya “Kapan lulus?”, kamu bisa menjawab dengan jujur seperti, “Masih dalam proses, doakan saja semoga lancar!” Atau jika ditanya “Kenapa belum kerja?”, kamu bisa dijawab “Lagi cari peluang yang sesuai, doakan ya semoga segera dapat pekerjaan yang cocok.” Kejujuran dalam menjawab pertanyaan bisa membuatmu lebih nyaman karena tidak perlu berpura-pura di hadapan orang lain..

Jika Merasa Stres, FEB UGM Punya Solusi!
Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai membuatmu merasa stres atau terbebani, ingat bahwa kamu tidak sendirian. FEB UGM menyediakan layanan kesehatan mental melalui Career and Student Development Unit (CSDU). Layanan ini gratis, dan kamu bisa berbicara dengan profesional yang siap membantu. Selain itu, FEB UGM juga memiliki Peer Support, yaitu teman sebaya yang bisa diajak berbagi cerita dan mencari solusi bersama. Berbagi cerita dengan orang-orang yang memahami situasi yang sama dapat membantu mengurangi tekanan mental dan membuatmu merasa lebih tenang.
Lebaran seharusnya menjadi momen untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga, bukan menjadi ajang tekanan sosial. Jika kamu menghadapi pertanyaan basa-basi yang kurang nyaman, tetaplah santai, gunakan humor, alihkan pembicaraan, atau tetapkan batasan dengan sopan. Dan yang paling penting, jangan biarkan omongan orang lain membuatmu merasa tidak cukup baik. Ingat bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri, dan tidak ada yang perlu dikejar hanya karena ekspektasi sosial.

DAFTAR PUSTAKA

1. LM Psikologi UGM. (2021, Desemmber 2). Komunikasi Asertif: Menyelesaikan Konflik Tanpa Menyakiti. LM Psikologi UGM. Retrieved March 10, 2025,
2. Ma, Y., & Fang, S. (2019). Adolescents’ mindfulness and psychological distress: The mediating role of emotion regulation. Frontiers in psychology, 10,
1358.
3. Matahari, D. (2023). Menghadapi Permasalahan Hidup: Memahami Peranan Penilaian Kognitif. Konsorium Psikologi Ilmiah Nusantara, 9(4), 1. https://buletin.k-
pin.org/index.php/arsip-artikel/1224-menghadapi-permasalahan-hidup-memahami-peranan-penilaian-kognitif
4. Nguyen, V., Jung, S. M., Lee, L., Hull, T. D., & Niculescu-Mizil, C. D. (2024). Taking a turn for the better: Conversation redirection throughout the
course of mental-health therapy. ACL Anthologi, 12(16), 9507–9521. DOI: 10.18653/v1/2024.findings-emnlp.555
5. Qudsyi, H., Husnita, I., Mulya, R., Jani, A. A., & Arifani, A. D. (2020). Student engagement among high school students: Roles of parental
involvement,
peer attachment, teacher support, and academic self-efficacy. 3rd International Conference on Learning Innovation and Quality Education (ICLIQE 2019),
241–251
6. Safitri, M. H. (2023). Mindfulness dan Emotional Intelligence Pada Remaja Panti Asuhan. Psychology Journal Of Mental Health, 4(2), 95.
7. Simione, L., & Gnagnarella, C. (2023). Humor Coping Reduces the Positive Relationship between Avoidance Coping Strategies and Perceived Stress:
A Moderation Analysis. Behavioral Sciences, 13(2), 179. DOI: 10.3390/bs13020179

1234
Universitas Gadjah Mada

 

Unit Pengembangan Mahasiswa dan Karir

Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Humaniora No.1, Bulaksumur, Depok, Sleman
Yogyakarta 55281

© Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY