Increase self-love awareness to live happier

Self-love atau mencintai diri sendiri adalah konsep yang sering dipromosikan dalam budaya modern sebagai kunci kesejahteraan dan kebahagiaan pribadi. Konsep self-love mengacu pada penerimaan diri yang mendalam dan tanpa syarat. Ini melibatkan pengakuan atas nilai diri, memperlakukan diri sendiri dengan baik, dan memprioritaskan kesejahteraan pribadi di atas kesejahteraan pihak lain. Berlawanan dengan kesalahpahaman umum, self-love bukanlah bentuk egoisme atau narsisme, melainkan bentuk penghargaan diri yang sehat yang mendukung stabilitas mental dan emosional.

Menurut Dr. Kristin Neff, self-love sangat berkaitan dengan self-compassion atau welas asih diri. Self-compassion adalah sikap memiliki perhatian dan kebaikan terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan merupakan bagian dari kehidupan setiap orang (Neff, 2003). Self-compassion juga dapat diartikan sebagai sikap tersentuh dan terbuka atas penderitaan sendiri, bukan menghindar atau melepaskan dari penderitaan tersebut, sehingga menghasilkan keinginan untuk menyembuhkan atau meringankan penderitaan diri sendiri dengan kebaikan (Armstrong, 2013). Dari definisi tersebut, diketahui bahwa hubungan self-compassion dan self-love adalah komponen yang sama pentingnya untuk ketahanan psikologis dan kesejahteraan seseorang.

Meskipun dinilai penting, banyak orang mengalami kesulitan dalam mengembangkan self-love karena berbagai hambatan psikologis:

A. Harga diri rendah. Individu dengan harga diri rendah seringkali memiliki pandangan negatif tentang diri mereka, yang membuat mereka sulit untuk mempraktikkan self-love. Mereka mungkin merasa tidak layak atau tidak pantas untuk menerima cinta dan kebaikan, bahkan dari diri mereka sendiri.

B. Perfeksionisme. Orang yang perfeksionis cenderung menetapkan standar yang sangat tinggi bagi diri mereka sendiri. Ketika mereka gagal memenuhi standar ini, mereka cenderung melakukan kritik diri yang keras, yang merusak self-love dan menimbulkan perasaan tidak memadai.

C. Self-talk negatif. Pembicaraan diri negatif yang terus-menerus, seperti “Saya tidak cukup baik” atau “Saya selalu gagal,” dapat sangat merusak self-love. Dialog batin ini memperkuat perasaan tidak berharga dan keraguan diri.

Jika seseorang sudah kesulitan dan kurang mencintai dirinya sendiri, hal ini dapat berdampak cukup buruk, mulai dari lebih rentan terkena kecemasan, depresi, dan stres hingga kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat. Rendahnya harga diri dapat menyebabkan ketergantungan pada orang lain untuk mencari validasi dan persetujuan. Selain itu, kurangnya self-love dapat memperkuat siklus perilaku negatif, seperti sabotase diri (menunda pekerjaan yang sudah seharusnya diselesaikan, menyalahkan orang lain ketika mengalami hal yang buruk, sulit mengatur waktu), menghindari tantangan, dan pengelolaan stress yang tidak sehat.

Berdasarkan pembahasan di atas, perlu adanya strategi untuk mengembangkan self-love dalam diri dengan proses bertahap yang melibatkan perubahan pola pikir dan perilaku. Beberapa strategi tersebut yakni yang pertama dengan melatih self-compassion dengan melibatkan tiga komponen utama yaitu self kindness, common humanity, dan mindfulness. Dengan melatih self-compassion, individu dapat belajar untuk (1) lebih lembut terhadap diri mereka sendiri; (2) menyadari bahwa kekecewaan, kesedihan, maupun kegagalan sebagai pengalaman yang manusiawi; dan (3) berfokus pada situasi saat ini tanpa berusaha untuk menyangkal atau menghindarinya. Kedua, mengatasi self-talk negatif, bisa dengan terapi kognitif-perilaku (CBT) yaitu mengenali dan membantah pemikiran yang tidak rasional, sehingga bisa mencari alternatif pemikiran yang lebih positif. Ketiga, melakukan self-care seperti olahraga teratur, tidur yang cukup, makan makanan bergizi, maupun melakukan hobi. Kemudian, strategi terakhir dengan menerapkan mindfulness, yaitu memberikan perhatian secara penuh dengan sengaja, pada saat ini, dan tanpa menghakimi, yang dapat dilatih dengan melakukan relaksasi nafas maupun meditasi.

Tak bisa dipungkiri juga selain dari faktor internal, faktor lain seperti norma sosial dan ekspektasi budaya yang ada di masyarakat juga dapat menghambat self-love. Penekanan pada pencapaian eksternal (contohnya prestasi) dan penampilan dalam kenyataannya dapat menciptakan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar tertentu. Maka, perlu untuk lebih mengenali kelebihan dan kekuatan dalam diri sehingga dapat dioptimalkan, serta mengenali kekurangan sebagai suatu hal yang dapat dikembangkan, bukan menjadi sebuah label negatif.

Untuk menyimpulkan semua pembahasan ini dan sebagai bentuk upaya untuk meningkatkan awareness masyarakat akan pentingnya self-love, maka saran yang bisa diberikan adalah dengan mendefinisikan ulang arti kesuksesan. Kesuksesan harus diukur berdasarkan pertumbuhan pribadi, kesejahteraan, dan hidup yang otentik, daripada berdasarkan standar sosial. Kemudian, mengelilingi diri dengan lingkungan yang suportif dan menumbuhkan perspektif yang lebih sehat tentang harga diri. Serta mendorong perubahan sosial dengan menormalisasi adanya diskusi terbuka tentang self-love dan kesehatan mental, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi individu yang berjuang dengan self-love. Dengan demikian, seiring masyarakat yang semakin menyadari pentingnya self-love, harapannya akan lebih banyak orang yang menerima diri mereka sendiri dengan kebaikan dan welas asih yang layak mereka dapatkan.

Referensi
Neff, K. D. (2011). Self-Compassion: The Proven Power of Being Kind to Yourself. William Morrow.
Journal of Personality and Social Psychology. (2021). The Role of Self-Love in Psychological Resilience.
“Teori Self Compassion Menurut Para Ahli.” Universitas Psikologi. Last modified November 22, 2020. https://www.universitaspsikologi.com/2020/11/teori-self-compassion-menurut-para-ahli.html.
.

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*