Di tengah jadwal kuliah yang padat, tugas menumpuk, dan kegiatan organisasi yang berjalan bersamaan, kita sering kali merasa perlu mengandalkan multitasking dalam hidup kita. Multitasking terjadi ketika seseorang berusaha melakukan dua tugas secara bersamaan, berpindah dari satu tugas ke tugas lain, atau mengerjakan dua atau lebih tugas dalam waktu yang berdekatan secara cepat (American Psychological Association, 2006). Sebagai contoh, kita sedang mengetik makalah sembari mengikuti rapat daring, atau mendengarkan dosen menjelaskan materi sembari membalas pesan di grup organisasi.
Bagi sebagian mahasiswa, multitasking bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan. Dengan banyaknya tuntutan dalam satu hari, kemampuan membagi perhatian seakan menjadi keterampilan wajib. Apalagi, kemajuan teknologi membuat kita bisa membuka banyak aplikasi dalam satu layar. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kita merasa multitasking adalah solusi cerdas untuk menghemat waktu. Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah otak manusia memang didesain untuk melakukan banyak hal sekaligus? Contoh sederhananya bisa kita lihat dari percakapan berikut, ketika mahasiswa mencoba menggabungkan berbagai aktivitas dalam satu waktu.
“Eh, lagi Zoom kelas kan?”
“Iya, tapi aku juga lagi nyusun laporan praktikum. Lumayan lah, biar hemat waktu.”
“Waduh, aku malah lagi sambil buka marketplace, takut kehabisan flash sale.”
Percakapan ringan seperti ini sudah jadi hal biasa di kalangan kita. Multitasking bahkan kerap dianggap tanda produktivitas, dimana semakin sibuk dan mampu mengerjakan banyak hal sekaligus, semakin “hebat” seseorang dipandang. Namun, psikologi kognitif justru memberi gambaran berbeda terkait hal tersebut, bahwa otak manusia ternyata tidak sesederhana itu dalam membagi perhatian.
Mengapa Mahasiswa Melakukan Multitasking?
Ada beberapa alasan mengapa mahasiswa akhirnya terbiasa dengan multitasking:
1. Tekanan Berbagai Peran.
Teori Role Strain dalam psikologi sosial menjelaskan bahwa ketika seseorang memiliki banyak peran sekaligus, misalnya sebagai mahasiswa, anggota organisasi, teman, anak, serta peran lainnya, maka ia cenderung merasa kewalahan (Hopper, 2020). Salah satu strategi yang sering muncul dalam upaya memenuhi tuntutan peran tersebut secara bersamaan adalah multitasking.
2. Distraksi Teknologi.
Kehadiran gadget, terutama smartphone, memicu multitasking baik yang disengaja (mengerjakan tugas sambil buka chat) maupun tidak disengaja (notifikasi). Padahal, menurut teori Cognitive Load, otak memiliki kapasitas terbatas dalam memproses informasi. Artinya, ada batas seberapa banyak hal yang bisa kita tangani secara bersamaan (Likourezos 2021).
3. Budaya Produktivitas.
Terdapat fenomena “busy culture” atau “hustle culture” yakni semakin sibuk seseorang terlihat, semakin tinggi status sosialnya di mata orang lain. Kesibukan sering diaglorifikasi, seolah semakin sibuk seseorang maka semakin tinggi pula kesan prestasi dan keberhasilannya (Harriman, 2017). Akhirnya kita merasa bangga bisa mengerjakan banyak hal sekaligus, walau kualitasnya sering kali tidak maksimal.
Dampak Multitasking: Apa Kata Psikologi?
Walaupun multitasking sering dianggap keren, penelitian menunjukkan bahwa otak tidak benar-benar bisa fokus pada dua hal berat secara bersamaan. Ketika kita merasa sedang melakukan multitasking, kemungkinan besar kita sebenarnya hanya mengalihkan perhatian dan fokus dari satu tugas ke tugas lainnya dengan cepat, sebuah proses yang disebut task switching (Cherry, 2025). Proses ini menimbulkan switch cost, yakni dampak negatif dari perpindahan tugas yang meningkatkan beban mental, seperti memperlambat kinerja dan meningkatkan kemungkinan kesalahan (Cherry, 2025; Monsell, 2023). Fenomena ini akhirnya memunculkan pertanyaan lebih jauh mengenai dampak multitasking terhadap efektivitas kerja dan kesejahteraan psikologis individu. Berikut merupakan beberapa dampak yang dapat ditimbulkan dari multitasking:
1. Penurunan Performa dan Produktivitas
Menurut Attention Residue Theory, setiap kali kita berpindah dari satu tugas ke tugas lain, sebagian perhatian kita masih tertinggal pada tugas sebelumnya. Akibatnya, otak tidak pernah benar-benar fokus penuh pada pekerjaan yang sedang dikerjakan (Timely, 2020). Sementara itu, Cognitive Interference Theory menjelaskan bahwa perpindahan fokus berulang dapat menambah beban kognitif otak. Sumber daya mental yang terbatas dipakai ulang setiap kali otak menyesuaikan diri dengan tugas baru, sehingga energi cepat terkuras (Yousef et al., 2025). Akibatnya, energi mental cepat terkuras, dan muncul gejala seperti sulit konsentrasi, cemas, hingga penurunan kualitas kerja. Kedua teori ini menjelaskan mengapa multitasking meningkatkan beban mental dan membuat kinerja menurun. Saat multitasking, kita jadi bekerja lebih lambat, kurang efisien, dan rentan melakukan kesalahan ketika melakukan multitasking (Cherry, 2025).
2. Gangguan dalam Proses Belajar
Multitasking terbukti dapat mengganggu proses belajar. Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang melakukan multitasking dengan laptop saat kelas, menurunkan pemahaman bukan hanya bagi pelaku namun juga teman di sekitarnya (Bellur et al.., 2015). Data juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang melakukan multitasking di kelas cenderung memiliki IPK lebih rendah (Sana et al., 2013). Hal ini menjadi alasan mengapa kita sering merasa hasil belajar tidak maksimal meski sudah “sibuk” seharian.
3. Peningkatan Stres dan Kelelahan Mental
Penelitian menunjukkan bahwa multitasking terbukti meningkatkan stres, ditandai dengan naiknya detak jantung, tekanan darah, beban kerja yang dirasakan, serta memburuknya suasana hati (Recarte et al., 2020). Selain itu, kelelahan mental yang disebabkan multitasking juga dikaitkan dengan gejala kecemasan dan depresi yang lebih tinggi (Li & Fan, 2022). Pada mahasiswa, kebiasaan multitasking berlebihan, antara tugas kuliah, organisasi, dan distraksi digital, dapat mempercepat burnout, membuat mereka lebih mudah kewalahan dan kehilangan motivasi dibandingkan jika fokus pada satu hal dalam satu waktu. Jika berlangsung terus-menerus, kondisi ini bukan hanya mengganggu produktivitas, tetapi juga bisa menurunkan kualitas kesehatan mental secara keseluruhan.
Apakah Multitasking Selalu Buruk?
Multitasking tidak sepenuhnya buruk. Dalam beberapa konteks, multitasking masih bisa membantu. Multitasking relatif aman dilakukan ketika salah satu tugas bersifat otomatis atau rutin (Scott, 2023), serta ketika dua tugas menggunakan modalitas berbeda (Wickens, 2008), misalnya visual dan auditori. Contohnya, berjalan santai sambil mendengarkan musik, atau melipat pakaian sambil mendengar podcast. Dalam situasi ini, beban perhatian tidak saling tumpang tindih sehingga risiko kesalahan tetap rendah. Namun, untuk tugas-tugas yang menuntut kendali kognitif (menganalisis, belajar, menyetir, membuat keputusan cepat), multitasking hampir selalu menurunkan kinerja (APA, 2006), membuat kita lebih lambat atau lebih banyak salah. Dengan kata lain, multitasking saat belajar statistik, menulis skripsi, atau mempersiapkan presentasi bisa jadi justru kontraproduktif. Konsep ini sejalan dengan teori Deep Work, yang menekankan pentingnya fokus mendalam tanpa gangguan untuk menghasilkan karya berkualitas (Nortje, 2023). Aturan praktisnya, multitasking hanya untuk aktivitas sederhana dan rutin, sementara untuk tugas yang menuntut pemahaman, pengambilan keputusan, atau keselamatan, fokus tunggal tetap menjadi pilihan terbaik.
Cara Sehat Mengatasi Multitasking
Daripada memandang multitasking sebagai hal yang sepenuhnya buruk, mahasiswa bisa belajar mengelolanya. Kuncinya ada pada bagaimana kita menata waktu, mengelola energi, dan menjaga kesehatan mental. Berikut beberapa langkah yang bisa diterapkan:
1. Membuat Prioritas yang Jelas
Tidak semua tugas harus dikerjakan sekaligus. Mahasiswa bisa mencoba membuat to-do list harian dengan urutan prioritas. Metode Eisenhower Matrix dapat digunakan untuk memilah tugas-tugas tersebut ke dalam empat kategori. Kategori pertama berisikan tugas yang penting dan mendesak, yang harus segera diselesaikan. Kategori kedua berisi tugas yang penting tetapi tidak mendesak, yang dapat dijadwalkan untuk waktu lain. Sementara itu, kategori ketiga diisi oleh tugas yang mendesak namun tidak terlalu penting dan dapat didelegasikan kepada orang lain. Sedangkan kategori keempat dapat diisi dengan tugas yang tidak penting dan tidak mendesak, yang sebaiknya diabaikan. Dengan menerapkan strategi ini secara konsisten, mahasiswa dapat mengelola waktu dan energi secara lebih efektif. Otak tidak dipaksa menangani terlalu banyak hal sekaligus, sehingga fokus terjaga, produktivitas meningkat, dan kualitas hasil pekerjaan menjadi lebih baik.
2. Latih Fokus dengan Single-Tasking
Multitasking memang terlihat efisien, tetapi justru single-tasking lebih efektif untuk pekerjaan berat. Kita dapat menerapkan metode deep work misalnya, sediakan waktu 90 menit penuh hanya untuk belajar tanpa gangguan apapun. Termasuk mematikan notifikasi, menjauhkan ponsel, dan memberikan perhatian penuh hanya pada satu tugas. Selain itu, kita juga bisa menggunakan teknik time blocking. Caranya adalah dengan menjadwalkan blok waktu khusus untuk setiap aktivitas, sehingga kita tahu kapan harus fokus pada satu pekerjaan dan kapan bisa beralih ke tugas lain.
3. Teknik Manajemen Waktu yang Fleksibel
Kita dapat menggunakan metode Pomodoro yakni 25 menit fokus, lalu beristirahat selama 5 menit. Pola ini dapat membantu otak untuk tetap segar dan mencegah kelelahan mental. Untuk tugas yang lebih panjang, kita bisa juga memakai pola 50 menit fokus dan 10 menit istirahat.
4. Kurangi Distraksi Digital
Smartphone adalah sumber multitasking terbesar. Matikan notifikasi yang tidak penting saat sedang belajar. Kita dapat menggunakan fitur focus mode, atau simpan ponsel di tempat lain agar tidak mudah terganggu.
5. Belajar Berkata “Tidak”
Salah satu akar multitasking adalah keinginan untuk menerima semua kesempatan. Padahal, terlalu banyak mengambil peran justru bisa membuat kewalahan. Mahasiswa perlu berani menolak atau menunda hal-hal yang tidak prioritas. Dalam hal ini, keterampilan komunikasi asertif menjadi penting, misalnya “Aku pengen banget ikut, tapi sekarang aku harus fokus nyelesain tugas yang lain.” Dengan begitu, kita tetap menjaga hubungan baik sekaligus melindungi waktu dan energi, meningkatkan fokus, dan mengurangi stres.
6. Menerapkan self-compassion
Teori Self-Compassion menekankan pentingnya bersikap ramah dan tidak terlalu keras pada diri sendiri (Neff, 2003). Kita perlu menerima bahwa tidak semua hal bisa selesai sekaligus, dan itu bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari kesehatan mental yang sehat. Dengan self-compassion, kita belajar melihat keterbatasan diri secara wajar, memberi ruang untuk istirahat, dan tidak terjebak dalam rasa bersalah ketika tidak mampu memenuhi semua tuntutan.
Multitasking bisa bermanfaat untuk aktivitas sederhana, tetapi dalam hal-hal yang membutuhkan konsentrasi mendalam, penelitian psikologi menunjukkan lebih banyak kerugiannya. Mahasiswa tidak perlu menghindari multitasking sepenuhnya, tetapi hanya perlu bijak dalam mengelolanya. Jangan sampai demi menyelesaikan semua hal sekaligus, kita lupa memberi ruang bagi diri sendiri untuk benar-benar hadir pada satu momen. Ingatlah bahwa kualitas lebih berharga daripada kuantitas, dan menjaga kesehatan mental adalah bagian dari investasi jangka panjang. Kadang, yang kita butuhkan bukanlah menambah banyak aktivitas dalam satu waktu, melainkan keberanian untuk berkata “Aku akan fokus pada satu hal dulu, dan itu cukup.”
Referensi
1. American Psychological Association. (2006). Multitasking: Switching costs. Retrieved from https://www.apa.org/research/action/multitask
2. Bellur, S., Nowak, K. L., & Hull, K. S. (2015). Make it our time: In-class multitaskers have lower academic performance. Computers in Human Behavior, 48, 174–182. https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.01.006
3. Cherry, K. (2025, Februari 4). How multitasking affects productivity and brain health. Verywell Mind. Retrieved from https://www.verywellmind.com/multitasking-2795003
4. Harriman, M. (2017, 24 Februari). The glorification of being busy. The Stanford Daily. Retrieved from https://stanforddaily.com/2017/02/24/the-glorification-of-being-busy/
5. Hopper, E. (2020). What Is Role Strain? Definition and Examples. ThoughtCo. Retrieved from https://www.thoughtco.com/what-is-role-strain-in-sociology-4784018
6. Likourezos, V. (2021). An introduction to cognitive load theory. The Education Hub. Retrieved from https://theeducationhub.org.nz/an-introduction-to-cognitive-load-theory/
7. Monsell, S. (2003). Task switching. Trends in Cognitive Sciences, 7(3), 134–140. https://doi.org/10.1016/S1364-6613(03)00028-7
8. Neff, K. D. (2003). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2(2), 85–101. https://doi.org/10.1080/15298860309032
9. Nortje, A., & Neuhaus, M. (2023). Deep Work: The Book, the Meaning & the Author. Positive Psychology. Retrieved from https://positivepsychology.com/deep-work/
10. Sana, F., Weston, T., & Cepeda, N. J. (2013). Laptop multitasking hinders classroom learning for both users and nearby peers. Computers & Education, 62, 24–31. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2012.10.003
11. Scott, E. (2023, December 1). Single-tasking for productivity and stress management. Verywell Mind. Retrieved from https://www.verywellmind.com/single-tasking-for-productivity-and-stress-management-3144753
12. Timely. (2020). Attention residue: the reason why you can’t focus. Timely. Retrieved from https://www.timely.com/blog/attention-residue
13. Wickens, C. D. (2008). Multiple resources and mental workload. Human Factors, 50(3), 449–455. https://doi.org/10.1518/001872008X288394
14. Yousef, A. M. F., Alshamy, A., Tlili, A., Hosny, A., & Metwally, S. (2025). Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era: A Review. Brain sciences, 15(3), 283. https://doi.org/10.3390/brainsci15030283