
Sebagai seorang mahasiswa, kita sering dihadapkan pada berbagai pilihan, mulai dari diajak teman hangout ke mall, nongkrong sepulang kuliah, hingga ikut jalan-jalan dadakan di akhir pekan, padahal di saat yang sama, ada deadline tugas yang menanti untuk diselesaikan. Sekilas, semua itu tampak sebagai bentuk kontribusi dan keterlibatan. Namun, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri apakah semua itu dilakukan karena benar-benar ingin, atau semata-mata karena takut mengecewakan orang lain? Jika kita pernah merasa bersalah ketika menolak ajakan teman, atau tetap menyanggupi permintaan seseorang meski dalam kondisi lelah, mungkin kita memiliki kecenderungan sebagai seorang people pleaser.
Fenomena ini tidak jarang dijumpai di dunia perkuliahan. Banyak diantara kita yang terjebak dalam siklus untuk selalu menyenangkan orang lain demi menjaga relasi, memperoleh pengakuan, atau menghindari konflik. Akibatnya, batas antara kepedulian dan pengorbanan menjadi kabur. Dalam jangka panjang, kecenderungan ini dapat berdampak pada kesehatan mental, menurunkan produktivitas, atau bahkan menghambat perkembangan diri (Dinakaramani, 2023).
Apa Itu People Pleaser?
People pleaser merupakan istilah informal yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang cenderung menomorsatukan kepentingan orang lain demi menjaga hubungan atau citra baik, meski harus mengabaikan dirinya sendiri (Dinakaramani, 2023). Sering kali, kita merasa sulit untuk mengatakan “tidak” karena takut dianggap egois, tidak bertanggung jawab, atau tidak cukup baik. Misalnya, saat teman bertanya, “Malam ini bisa bantu revisi data, nggak?” kita tetap menjawab, “Iya, kirim aja filenya,” meski tugas sendiri belum selesai, karena takut mengecewakan atau merenggangkan persahabatan.
Di balik sikap ingin selalu menyenangkan orang lain ini, sering kali tersembunyi dorongan mendalam untuk merasa diterima dan dicintai. Menurut teori hierarki kebutuhan Maslow, manusia akan mulai mencari rasa memiliki dan ingin dihargai oleh orang lain setelah kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, dan keamanan terpenuhi (Cherry, 2024). Karena itulah, tak jarang kita merasa perlu untuk terus membantu, selalu hadir, dan tersedia kapanpun ketika dibutuhkan, semata-mata agar dianggap penting dan berharga oleh lingkungan sekitar.
Mengapa People Pleaser Bisa Hadir?
Perilaku ingin selalu menyenangkan orang lain tidak muncul begitu saja. Ada berbagai penyebab yang saling berkaitan mulai dari pola relasi masa lalu, tekanan sosial, hingga budaya kampus yang serba cepat. Berikut beberapa alasan yang paling umum menyebabkan seseorang mengalami people pleaser:
a. Pola Asuh yang Mengajarkan Cinta Itu Bersyarat
Sejak kecil, banyak dari kita belajar bahwa menjadi “baik” adalah satu-satunya cara untuk dicintai. Kita dipuji saat membantu, saat tidak merepotkan, dan saat bersikap tenang serta mengikuti aturan. Tetapi begitu kita marah, menangis, atau berkata “tidak”, kasih sayang itu perlahan menjauh dan diganti dengan tatapan kecewa, ucapan sinis, atau label anak nakal. Dari sinilah tumbuh sebuah keyakinan dalam diri bahwa cinta itu bersyarat, bahwa penerimaan hanya datang ketika kita terus menyenangkan orang lain. Carl Rogers menyebut kondisi ini sebagai conditional positive regard yakni bentuk kasih sayang yang hanya diberikan ketika kita memenuhi harapan atau standar tertentu (Sutanto, 2019). Dalam situasi ini, cinta dan penerimaan tidak muncul karena siapa diri kita sebenarnya, melainkan karena perilaku kita yang sesuai dengan keinginan orang lain. Akibatnya, kita pun tumbuh dengan dorongan untuk terus menyesuaikan diri, menyembunyikan sisi-sisi yang dianggap “tidak baik”, demi tetap merasa layak dicintai.
b. Takut Ditolak atau Ditinggalkan
Tak semua dari kita tumbuh di lingkungan yang aman secara emosional. Ada yang terbiasa ditinggal, diabaikan, atau tak diberi ruang untuk jujur terhadap perasaannya. Akibatnya, kita jadi takut apabila mengecewakan dan takut membuat orang disekitar kita menjauh. John Bowlby menjelaskan melalui attachment theory bahwa individu dengan anxious attachment akan cenderung menjaga hubungan apapun caranya, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan kenyamanan diri sendiri (Cherry, 2025).
c. Lingkungan yang Mengagungkan Produktivitas
Di lingkungan kampus yang kompetitif seperti FEB UGM, kita mudah sekali terbawa arus. Kita bangga saat terlihat sibuk, bangga menjadi bagian dari banyak kepanitiaan, dan sering merasa bersalah ketika ingin beristirahat. Hingga tanpa sadar, kita mulai menukar kesehatan mental dengan validasi sosial, yakni dengan mengorbankan ketenangan demi pengakuan dan mengabaikan kebutuhan diri demi memenuhi ekspektasi yang tak pernah benar-benar kita setujui sepenuhnya.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Berhenti menjadi people pleaser bukan berarti berhenti menjadi orang baik. Justru, ini adalah proses menjadi orang baik yang juga sehat secara emosional, yang peduli pada orang lain tanpa mengabaikan diri sendiri. Kita bisa mulai dari hal-hal kecil yang sederhana namun bermakna. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa kita tempuh:
a. Sadari Akar Kondisi
Tanpa disadari, banyak orang merasa harus selalu hadir, mampu, dan membuat semua orang senang. Pola ini kerap berakar dari pengalaman masa kecil seperti trauma emosional, kebutuhan kuat untuk diterima (sense of belonging), ketakutan akan penolakan, atau kecenderungan menghindari konflik. Akibatnya, kita takut mengecewakan, takut dianggap berubah, hingga akhirnya memikul beban yang bahkan tidak pernah kita sepakati sejak awal. Menyadari bahwa kita tidak bisa dan tidak harus menyenangkan semua orang adalah langkah penting. Melepaskan beban ini bukan berarti menyerah. Justru, ini adalah langkah berani untuk menjaga diri, menetapkan batas, dan memilih hidup yang lebih seimbang dimana kita tetap peduli pada orang lain, tapi tidak lagi mengabaikan diri sendiri.
b. Kenali dan Tegakkan Batasan Diri
Menetapkan batas (boundaries) adalah keterampilan inti untuk menjaga kesehatan mental. Tidak semua permintaan harus kita jawab. Tidak semua pesan harus langsung dibalas. Tidak semua ajakan harus dipenuhi. Cobalah jujur pada diri sendiri tentang kapan kamu butuh ruang dan kapan siap hadir. Gunakan prinsip prioritization dengan membuat daftar kegiatan yang selaras dengan nilai dan tujuanmu. Pilih aktivitas yang benar-benar penting dan selaras dengan nilai dirimu. Sisanya? Biarkan lewat. Memilih secara sadar dapat membantu mengurangi rasa kewalahan dan meningkatkan kendali atas hidup.
c. Menunda Berkata “Ya”,
Sering kali kita langsung mengiyakan sesuatu tanpa berpikir panjang. Lain kali, coba beri jeda sejenak sebelum menjawab. Alih-alih langsung mengiyakan, katakan, “Aku pikir-pikir dulu ya, nanti aku kabari lagi.” Gunakan waktu tersebut untuk mempertimbangkan. Tanyakan kepada diri kita “Apakah aku benar-benar ingin melakukan ini? Atau aku hanya nggak enak nolak takut dinilai buruk?” Membangun kesadaran seperti ini akan membantu kita membedakan mana tindakan yang tulus dan mana yang lahir dari tekanan sosial.
d. Berkata “Tidak” dengan Jujur dan Sopan
Menolak permintaan bukan berarti menyakiti orang lain, justru dapat menjadi cara sehat untuk menetapkan batas secara sehat. Misalnya Kita bisa berkata, “Maaf, aku nggak bisa bantu minggu ini karena ada deadline,” atau “Aku perlu rehat dulu, nanti aku kabari lagi kalau sudah siap bantu.” Kalimat seperti itu bukanlah bentuk dari egoisme, tetapi merupakan sebuah bentuk keberanian untuk memprioritaskan diri. Sikap ini disebut asertivitas, yaitu kemampuan menyampaikan pikiran, perasaan, dan kebutuhan secara jujur dan tegas, sambil tetap menghormati orang lain. Dengan bersikap asertif, kita melatih keseimbangan antara kepedulian terhadap orang lain dan kepedulian terhadap diri sendiri, sehingga hubungan yang terjalin menjadi lebih sehat dan saling menghargai.
e. Pelan-Pelan, Bangun Lingkungan yang Menghargai Batas
Lingkungan sosial memegang peran penting dalam membentuk kebiasaan. Perilaku saling menghargai batas akan lebih mudah berkembang jika ada contoh dan dukungan dari orang sekitar. Mulailah dari lingkaran kecil, teman sekelas; rekan kerja; atau sahabat dekat, dan biasakan saling jujur. Normalisasi kalimat seperti “Aku belum bisa bantu sekarang” tanpa rasa bersalah membantu menciptakan budaya yang sehat. Lingkungan yang sehat adalah lingkungan yang menghargai batas, memahami jeda, dan tidak mengukur nilai seseorang dari seberapa sering dia berkata “iya”. Kita juga perlu peka pada tanda kelelahan yang tidak selalu terlihat. Kadang seseorang tetap tersenyum, tapi diam-diam sedang bertahan. Maka, hadir untuk orang lain tidak selalu berarti membantu menyelesaikan tugas, kadang cukup dengan bertanya, mendengar, dan memberi ruang untuk jujur.
f. Manfaatkan Dukungan yang Sudah Tersedia
Kita tidak harus menghadapi semuanya sendirian. Di FEB UGM, kita punya ruang-ruang aman yang bisa membantu saat beban terasa terlalu berat. Career and Student Development Unit (CSDU) menyediakan layanan konseling gratis bagi mahasiswa. Kita bisa bicara tentang apapun mulai dari kecemasan, tekanan sosial, burnout, hingga konflik batin dalam relasi. Tidak ada yang terlalu sepele untuk dibahas dalam ruang konseling, semua bisa kita ceritakan. Selain itu, ada juga Peer Support, yakni teman sebaya yang telah dibekali pelatihan untuk mendengarkan secara empatik dan membantu kita melihat masalah dari sudut pandang yang lebih jernih.
Kamu tak harus jadi segalanya untuk semua orang. Karena semakin kamu sibuk memenuhi harapan di luar sana, semakin jauh kamu tersesat dari dirimu sendiri. Ada jeda yang perlu dijaga dan ada batas yang perlu dihormati. Bukan demi siapa-siapa, tapi demi dirimu yang sudah terlalu sering kamu kesampingkan. Berhentilah sebentar. Dengarkan dirimu. Peluk ia yang sudah terlalu lama diam demi menjaga semuanya tetap terlihat baik-baik saja. Karena pada akhirnya, yang paling layak kamu perjuangkan adalah dirimu sendiri.
Referensi
1. Cherry, K. (2024). Maslow’s Hierarchy of Needs Maslow believed that physiological and psychological needs motivate our actions. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-maslows-hierarchy-of-needs-4136760
2. Cherry, K. (2025). Attachment Theory: Bowlby and Ainsworth’s Theory Explained. Verywell Mind. Retrieved Juli 12, 2025, from https://www.verywellmind.com/what-is-attachment-theory-2795337
3. Sutanto, S. H. (2019). Apa Adanya atau Ada Apanya?. Buletin KPIN. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/416-apa-adanya-atau-ada-apanya
4. Dinakaramani, S. (2023, 9 Februari). Psikolog UGM bagikan tips atasi people pleaser. UGM Online. https://ugm.ac.id/id/berita/23447-psikolog-ugm-bagikan-tips-atasi-people-pleaser/