
Di balik unggahan prestasi, senyum saat rapat organisasi, dan obrolan santai di kantin, bisa jadi ada seseorang yang sangat lelah menjalani hidupnya. Bukan lelah fisik semata, tapi lelah karena terus merasa harus terlihat baik-baik saja. Kita, sebagai mahasiswa, seringkali terbiasa menyembunyikan tekanan dalam diam, tetap tampil tenang di permukaan, meski sebenarnya sedang kewalahan. Fenomena inilah yang dikenal sebagai Duck Syndrome.
Ibarat seekor bebek yang tampak mengapung anggun di permukaan air, padahal di bawahnya kakinya sedang mendayung panik, begitulah banyak dari kita menjalani kehidupan perkuliahan. Terlihat santai dan terkontrol, padahal sedang berusaha keras agar tidak “tenggelam” dalam tuntutan hidup akademik dan sosial. Duck syndrome atau floating duck syndrome adalah kondisi ketika seseorang tampak tenang dan baik-baik saja dari luar, padahal sebenarnya sedang berjuang keras secara mental dan emosional di balik layar (Travers, 2024). Istilah ini diibaratkan seperti bebek yang terlihat tenang di permukaan air, tapi kakinya mengayuh cepat di bawahnya. Awalnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan fenomena di kalangan mahasiswa Stanford University. Namun, pada kenyataannya, kondisi serupa banyak dialami oleh mahasiswa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, sebagai respons atas tekanan dalam menyeimbangkan tuntutan akademik, aktivitas nonakademik, dan kehidupan sosial (Riley, 2023).
Mengapa Duck Syndrome Bisa Terjadi?
Duck Syndrome bukan terjadi begitu saja. Ia tumbuh perlahan dari rutinitas dan kebiasaan yang sering kali kita anggap “wajar” sebagai mahasiswa. Tekanan akademik, tuntutan sosial, ekspektasi diri, dan budaya perbandingan menjadi kumpulan faktor yang saling bertumpuk, hingga tanpa sadar membuat kita merasa harus selalu terlihat baik-baik saja padahal tidak. Berikut beberapa penyebab umum yang membuat banyak mahasiswa mungkin termasuk kita sendiri terjebak dalam pola diam-diam lelah ini:
1. Terlalu Banyak Tuntutan, Terlalu Sedikit Ruang untuk Diri Sendiri
Sebagai mahasiswa, kita sering merasa perlu mengambil semua kesempatan, mulai dari bergabung organisasi, mengikuti banyak lomba, magang, hingga menjadi asisten dosen, sambil tetap menjaga IPK agar tetap tinggi. Semuanya dilakukan bukan karena ingin, tapi karena takut tertinggal. Kita merasa harus aktif karena “semua orang juga aktif”. Akibatnya, kita kehilangan kendali atas pilihan hidup sendiri. Bukan lagi memilih berdasarkan minat, tapi berdasarkan tekanan sosial dan ekspektasi dari lingkungan.
Konsep ini didukung oleh teori Self-Determination yang menyebut bahwa manusia membutuhkan rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness) (Cherry, 2024). Tetapi saat semua keputusan kita didasarkan pada tekanan dari luar diri kita, maka semua kebutuhan dasar tersebut perlahan tidak bisa dipenuhi.
2. Menekan Emosi Demi Citra yang Sempurna
Banyak dari kita merasa tidak boleh terlihat lelah, apalagi menyerah. Kita takut dianggap tidak sanggup, tidak tahan banting, tidak cukup baik. Maka kita terus tersenyum, terus datang ke rapat, terus update kegiatan padahal dalam hati kita mungkin ingin berhenti sejenak.
Perfeksionisme, menurut Rinawardani (2024), dapat membuat seseorang selalu ingin terlihat bahagia dan baik-baik saja. Orang yang cenderung perfeksionis membuat standar hidup yang tinggi dan sulit menerima kegagalan dalam hidup. Tekanan untuk mempertahankan citra diri yang sempurna dapat mendorong seseorang menyembunyikan kesulitan atau kegagalan yang sedang dialaminya.
3. Budaya Saling Banding dan Obsesi Akan Pengakuan
Media sosial membuat segalanya terlihat kompetitif. Timeline kita penuh dengan pencapaian orang lain, mulai dari melihat banyak orang berhasil memenangkan lomba, magang di perusahaan besar, skripsi selesai lebih cepat, atau liburan ke tempat aesthetic. Di sisi lain, kita merasa hidup kita datar-datar saja. Untuk mengimbanginya, kita berusaha tampil produktif juga. Kita bangun citra sebagai “mahasiswa ideal” dengan selalu aktif dan tidak pernah mengeluh.
Konsep ini selaras dengan Impression Management Theory, dimana kita secara aktif sadar atau tidak sadar mengatur bagaimana orang melihat kita (Hayuputri, 2018). Kita takut dicap lemah atau gagal, jadi kita terus jaga tampilan luar. Bahkan ketika sudah sangat lelah, kita tetap menjawab, “Masih aman, kok,” hanya agar tidak terlihat goyah. Padahal kenyataannya, banyak dari kita hanya terlihat mampu bukan benar-benar mampu.
Kenapa Duck Syndrome Berbahaya?
Duck Syndrome bukan sekadar kelelahan sesaat yang bisa diatasi dengan tidur semalam atau liburan akhir pekan. Hal ini merupakan bentuk tekanan psikologis yang terjadi secara diam-diam, namun dapat berdampak dalam jangka panjang jika terus diabaikan. Mahasiswa yang mengalaminya sering merasa harus terus bergerak, terus terlihat kuat, dan terus membuktikan diri, padahal di dalamnya sedang kehabisan tenaga.
Bahaya utamanya adalah sifatnya yang tidak kasat mata. Karena tampak “baik-baik saja” di permukaan, banyak dari kita bahkan diri sendiri gagal menyadari bahwa apa yang sedang kita alami adalah bentuk distress psikologis. Kita mungkin sering beranggapan bahwa “Semua orang juga capek, aku nggak boleh ngeluh.”
“Mungkin memang harus begini kalau mau sukses.”
“Kalau aku berhenti sekarang, berarti aku lemah.”
Padahal di balik dorongan untuk terus terlihat mampu, kita sedang mengorbankan sesuatu yang lebih penting, yakni kesehatan mental kita sendiri. Jika dibiarkan terus-menerus, Duck Syndrome bisa berkembang menjadi gangguan serius seperti kecemasan kronis, kesulitan tidur (insomnia), penurunan motivasi dan konsentrasi, bahkan burnout kondisi ketika tubuh dan pikiran merasa benar-benar habis, kosong, dan tidak bersemangat menjalani aktivitas apapun, termasuk hal-hal yang dulu kita sukai (Nismara, 2023).
Teori Cognitive Dissonance menjelaskan bahwa ketidakselarasan antara yang dirasa dan yang ditampilkan akan menciptakan tekanan psikologis (Neuhaus, 2021). Konflik antara perasaan dalam dan ekspresi luar ini menimbulkan ketegangan batin yang terus-menerus. Ketika kita terus memaksakan diri untuk terlihat kuat padahal tidak, lambat laun kita sendiri akan merasa bingung: “Sebenarnya aku ini bahagia atau cuma sibuk?”
Lebih dari itu, tekanan yang terpendam juga dapat memengaruhi hubungan sosial (Nismara, 2023). Kita mulai menjauh dari teman, merasa kesepian meskipun berada di tengah keramaian, atau bahkan menarik diri dari lingkungan karena takut terlihat “tidak cukup baik.” Maka dari itu, kesadaran untuk mengenali dan merespons Duck Syndrome perlu ditumbuhkan sebelum semuanya menjadi terlalu berat.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Menghadapi Duck Syndrome bukan soal mengubah semuanya secara drastis, tetapi tentang mulai menyayangi diri sendiri sedikit demi sedikit. Kita tidak harus selalu kuat. Kita hanya perlu mulai jujur, mulai membuka ruang untuk bernafas, dan belajar mengenali batas. Berikut adalah beberapa langkah nyata yang bisa kita lakukan untuk mengatasi Duck Syndrome:
1. Jujur terhadap diri sendiri
Bersikap jujur tidak berarti kita harus membuktikan ke publik bahwa kita sedang berjuang—cukup dengan jujur pada diri sendiri bahwa kesulitan adalah bagian dari proses hidup. Rasa sedih, cemas, atau gagal itu wajar, dan it’s okay to not be okay. Dengan menerima emosi-emosi itu, kita memberi ruang bagi diri untuk pulih dan tumbuh. Tidak apa-apa jika hari ini terasa berat atau kita tidak seproduktif biasanya. Poin terpenting, kita tetap berempati pada diri sendiri dan ingat bahwa kita tetap berharga, bahkan saat tidak dalam versi terbaik kita.
2. Mengelola ekspektasi terhadap diri sendiri
Kita tidak harus selalu sempurna. Wajar jika kita tidak bisa mengikuti semua standar yang ada di sekitar. Media sosial sering kali hanya menampilkan potongan momen terbaik seseorang, bukan keseluruhan perjuangannya. Maka, bandingkan diri kita hanya dengan diri kita sendiri versi kemarin dan hari ini. Apresiasi kemajuan sekecil apa pun yang telah kita lakukan.
Kita juga perlu belajar mengelola ekspektasi dari orang lain. Tidak semua harapan atau tuntutan orang terhadap kita harus dipenuhi, apalagi jika itu mengorbankan kesehatan mental atau nilai-nilai pribadi kita. Misalnya, kita sering merasa bersalah saat menolak tanggung jawab tambahan atau memilih istirahat, padahal itu adalah bentuk kepedulian terhadap diri sendiri. Maka, penting untuk mengenali batas diri dan belajar berkata “tidak” tanpa merasa bersalah. Tidak semua hal harus dijalani sekaligus. Belajar memilah mana yang memang penting, mana yang bisa ditunda, dan mana yang sebenarnya bukan tanggung jawab kita adalah keterampilan hidup yang penting untuk dimiliki.
3. Berani bercerita dan membuka ruang dialog
Tidak semua cerita harus disimpan sendiri. Menyampaikan perasaan bukanlah tanda kelemahan, tapi bentuk keberanian untuk mengenali dan mengelola emosi. Bercerita kepada orang yang dipercaya entah itu sahabat, keluarga, mentor, atau konselor dapat menjadi langkah awal untuk merasa lega. Bahkan kadang, hanya dengan didengarkan tanpa dihakimi saja, beban terasa lebih ringan.
4. Membangun lingkungan yang suportif
Lingkungan kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang hidup yang sehat secara sosial. Bangun kebiasaan saling menyapa, saling menanyakan kabar, dan menciptakan ruang aman di antara teman. Terkadang, satu kalimat sederhana seperti “kamu nggak sendiri” bisa berdampak jauh lebih besar dari yang kita kira. Dengan membantu orang lain, kita saling menumbuhkan empati, menguatkan, dan menghadirkan rasa nyaman satu sama lain.
5. Gunakan layanan dukungan yang tersedia
Di FEB UGM, Career and Student Development Unit (CSDU) menyediakan dukungan kesehatan mental melalui layanan konseling gratis yang bisa menjadi tempat aman untuk berbagi cerita, mencurahkan isi pikiran, dan menemukan jalan keluar. Selain itu, FEB UGM juga memiliki Peer Support, yaitu teman sebaya yang telah dilatih untuk menjadi pendengar dan pendamping yang suportif bagi teman-teman mahasiswa. Dengan berbagi cerita kepada orang-orang yang memahami dan berada dalam situasi serupa, tekanan batin yang berat bisa terasa lebih ringan, dan proses pemulihan pun bisa dimulai dengan lebih tenang.
Karena pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar “baik-baik saja” setiap saat. Kita tidak perlu terus berpura-pura mampu demi terlihat kuat. Mengakui bahwa kita sedang lelah adalah langkah pertama untuk mulai pulih. Tidak apa-apa jika sesekali kita berhenti sejenak, tidak apa-apa jika kita tidak ikut semua kegiatan, dan tidak apa-apa jika satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hari ini hanyalah bertahan. Sebab bertahan pun adalah bentuk keberanian. Dan dari keberanian itulah, kita akan menemukan kembali cahaya untuk melangkah.
Referensi
1. Cherry, K. (2024). Self-Determination Theory in Psychology. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-self-determination-theory-2795387
2. Hayuputri, F. M. (2018). Fenomena Impression Management pada Media Sosial. Buletin KPIN. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/276-fenomena-impression-management-pada-media-sosial
3. Neuhaus, M. (2021). Cognitive Dissonance: Theory, Examples & How to Reduce It. Positive Psychology. https://positivepsychology.com/cognitive-dissonance-theory/
4. Nismara, A. V. A. (2023). Hati-Hati Jadi Bebek! Kenali Lebih Lanjut tentang Kondisi Duck Syndrome. P2TKP Sanata Dharma Yogyakarta. https://unit.usd.ac.id/pusat/p2tkp/hati-hati-jadi-bebek-kenali-lebih-lanjut-tentang-kondisi-duck-syndrome/
5. Rinawati, N. M. D. (2024). Duck Syndrome. Dalam D. P. Habsara (Ed.), Penatalaksanaan Psikologi untuk Kasus Normal Bermasalah Jilid 2 (hal. 130-138). Pustaka Pelajar
6. Riley, O. (2023, May 8). Barely staying afloat: The pervasive culture of duck syndrome at Stanford. The Standford Daily. https://stanforddaily.com/2023/05/28/barely-staying-afloat-the-pervasive-culture-of-duck-syndrome-at-stanford/
7. Travers, M. (2024). The Causes and Effects of “Floating Duck Syndrome”. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/social-instincts/202404/the-causes-and-effects-of-floating-duck-syndrome